JAKARTA – Sejarah mencatat bahwa serangan Jayakatwang terhadap Kerajaan Singasari adalah peristiwa yang mengubah wajah kekuasaan di Jawa Timur. Pada masa itu, Kerajaan Singasari dipimpin oleh Kertanagara yang sedang terlibat dalam ritual pesta miras, sehingga kekuasaan dan ketajaman strategisnya berada dalam kondisi meragukan. Dalam situasi yang genting ini, Kertanagara memutuskan untuk mengirim menantunya, Raden Wijaya, untuk memimpin pasukan Singasari menghadapi ancaman yang datang dari utara.
Pasukan Jayakatwang, yang dikenal sebagai Aji Jayakatong, bergerak cepat menuju Ibukota Singasari dengan memanfaatkan jalur yang cerdik. Mereka memilih rute yang melintasi Pegunungan Putri Tidur dan melakukan serangan dari sisi utara. Pendekatan yang tidak biasa ini bertujuan untuk mengelabui pasukan Singasari yang lebih mengantisipasi serangan melalui jalur tengah dari Kediri. Dengan memanfaatkan medan yang berbukit dan sungai yang mengalir di sekitarnya, pasukan Jayakatwang mampu mendekati istana tanpa terdeteksi hingga saat-saat terakhir.
Rute yang dilalui oleh pasukan Jayakatwang mencakup dua sungai utama, yaitu Sungai Lekso dan Sungai Lahor, yang berada di wilayah Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang. Kedua sungai ini memainkan peranan penting dalam perjalanan mereka, karena merupakan jalur alami yang memudahkan mobilisasi pasukan. Pasukan yang dipimpin oleh Patih Kébo Munda rang, didampingi oleh Pudot dan Bowong, secara strategis melewati Waduk Lahor dan menuju Siddhabhawana yang diduga terletak di sekitar Karangkates, Kecamatan Sumberpucung di Kabupaten Malang.
Dalam laporan sejarah, serangan jayakatwang telah menandai awal dari berbagai perubahan sosial dan politik di kawasan tersebut. Perang ini tidak hanya melibatkan strategi militer, tetapi juga dipengaruhi oleh intrik politik di dalam Kerajaan Singasari. Pasukan Jayakatwang terdiri dari sejumlah petinggi yang memiliki pengalaman dan keterampilan militer yang mumpuni, termasuk Patih Kebo Mundarang yang beberapa kali disebut dalam berbagai naskah kuno sebagai jenderal yang andal.
Pihak Jayakatwang, yang umumnya diidentifikasikan dengan Kerajaan Kediri, ternyata memiliki akar sejarah yang mendalam di belakang sosok pemimpinnya. Dalam konteks ini, Jayakatwang merupakan keturunan dari Raja Gelang-gelang yang memerintah di wilayah Kediri. Runtuhnya kekuasaan Jayakatwang di tangan Ken Arok turut berkontribusi pada ambisi politiknya untuk merebut kembali kendali atas wilayah yang pernah hilang tersebut.
Ketegangan yang terjadi antara Singasari dan Kediri bukan hanya konflik militer, melainkan cerminan dari pertarungan kekuasaan yang lebih besar di seluruh wilayah Jawa. Penyerangan ini bukan saja menjadikan Singasari hancur, tetapi juga membuka peluang bagi kebangkitan Kekhalifahan Majapahit yang akan menjadi salah satu kerajaan terbesar di nusantara di kemudian hari.
Keterlibatan Raden Wijaya dalam kerusuhan ini sangat penting, meskipun pada akhirnya ia memperoleh kemenangan di pihak yang tak terduga. Raden Wijaya, yang pada awalnya merupakan menantu Kertanagara, berhasil merebut kesempatan saat Singasari dalam keadaan terdesak. Dia merangkul sisa-sisa kekuatan dari pasukan yang selamat dan beralih dari posisinya sebagai penanggung jawab pertahanan menjadi pendiri Kerajaan Majapahit setelah runtuhnya Singasari.
Peristiwa serangan Jayakatwang terhadap Kerajaan Singasari menggambarkan betapa pentingnya pemahaman akan strategi militer, kondisi sosial politik, dan penggunaan medan dalam mengatur taktik. Ini juga mengingatkan kita bahwa dalam peperangan, adaptasi dan inovasi dapat menjadi kunci untuk mengubah arah sejarah. Dengan perubahan yang terjadi akibat serangan tersebut, banyak aspek yang akan berpengaruh terhadap perkembangan sejarah selanjutnya di pulau Jawa dan Indonesia secara keseluruhan.