Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI), Juniver Girsang, menegaskan bahwa penyidikan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sebaiknya tetap di bawah kewenangan kepolisian, bukan kejaksaan. Pernyataan tersebut disampaikan dalam konteks perubahan struktural yang diusulkan dalam RUU KUHAP, yang mengedepankan posisi kejaksaan sebagai pihak yang akan melakukan penyidikan.
Juniver berpendapat bahwa memberikan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan akan menghapus peran penting yang dimiliki kepolisian dalam proses penegakan hukum. “Seharusnya memang jaksa bukan berhak di penyidikan dalam pidana umum, kemudian dia menjadi penuntut. Tidak boleh dong. Kalau begitu, perannya polisi apa?” ungkap Juniver. Menurutnya, keberadaan dua institusi ini adalah untuk saling mengontrol dan memastikan keadilan dalam proses hukum, dimulai dari pengumpulan bukti di tingkat kepolisian hingga penuntutan oleh kejaksaan.
Dalam lanjutannya, Juniver menyoroti wacana tentang dominus litis, yang berarti bahwa kejaksaan akan berperan dalam penyidikan hingga penuntutan. Ia khawatir jika kejaksaan memiliki kekuasaan ini, proses penegakan hukum tidak lagi seimbang dan berkeadilan. “Kalau jaksa menjadi dominus litis, enggak bisa dong. Dia tangkap, dia periksa, dia limpahkan, dia jaksa penuntut umumnya, enggak ada keseimbangan,” tegasnya. Kondisi ini, menurut Juniver, berpotensi melanggar prinsip-prinsip keadilan yang seharusnya berlaku dalam hukum, termasuk due process of law yang menjamin hak-hak setiap individu dalam proses hukum.
Juniver juga mengakui masih adanya potensi rekayasa atau kriminalisasi dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Salah satu faktor penyebabnya, ia sebutkan, adalah kurangnya pendampingan penasihat hukum kepada saksi saat pemeriksaan. “Saya juga keberatan kalau disebut jaksa itu berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,” ujarnya tegas, menekankan bahwa seharusnya hal tersebut tetap menjadi ranah kepolisian untuk diajukan ke kejaksaan setelahnya.
Selain itu, Juniver menekankan pentingnya memperkuat peran advokat dalam RUU KUHAP yang baru. Ia menilai perlunya perlindungan bagi saksi agar bisa memberikan keterangan tanpa adanya tekanan atau intimidasi dari pihak manapun. “Saksi-saksi ini supaya betul-betul dia bisa bebas menyampaikan keterangan dan tidak ada rekayasa maupun kriminalisasi terhadap suatu perkara, dalam KUHAP yang baru seharusnya memuat saksi itu dilindungi atau didampingi oleh penasihat hukum,” jelas Juniver.
Dalam perspektif Juniver, jika aspek-aspek tersebut diperhatikan dalam penyusunan RUU KUHAP, potensi penyimpangan dan pelanggaran hukum di tingkat penyelidikan dan penyidikan dapat diminimalisasi. Hal ini akan memberikan jaminan terhadap penegakan hukum yang lebih baik dan adil, di mana kepolisian dan kejaksaan tidak dapat bertindak sewenang-wenang.
Pseudonyme rekayasa kasus dan penindasan terhadap individu, menurut Juniver, harus menjadi perhatian khusus dalam pembahasan RUU KUHAP. Dengan adanya pendampingan hukum yang tepat, diharapkan saksi dapat menyampaikan keterangan yang benar dan tidak dipaksa untuk memberikan informasi yang merugikan pihak tertentu.
Berdasarkan pandangan keseluruhan Juniver Girsang, terdapat urgensi untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara kepolisian dan kejaksaan, serta menguatkan posisi advokat dalam proses hukum. Upaya tersebut diharapkan dapat menciptakan keadilan yang lebih nyata bagi masyarakat, sekaligus mencegah terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum di Indonesia.