Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, resmi mengajukan banding setelah dijatuhi sanksi pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) oleh pihak kepolisian. Sanksi ini dijatuhkan sebagai akibat dari sejumlah tuduhan serius yang meliputi pelecehan seksual, persetubuhan anak di bawah umur, perzinahan, dan penyalahgunaan narkoba. Langkah banding ini dinyatakan oleh Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, pada Senin (17/3/2025).
Menurut Trunoyudo, AKBP Fajar memiliki hak untuk mengajukan banding sebagai tanggapan atas putusan yang dikeluarkan. “Atas putusan tersebut, pelanggar menyatakan banding, yang merupakan hak milik pelanggar,” ungkapnya. Proses banding ini harus diajukan selambat-lambatnya tiga hari setelah putusan sidang, di mana Fajar harus menyerahkan memori bandingnya. Setelah itu, sekretariat Polri akan membentuk komisi banding untuk menindaklanjuti permohonan tersebut.
Brigjen Pol Agus Wijayanto, Karowabprof Divpropam Polri, menegaskan bahwa sidang banding akan dilaksanakan tanpa kehadiran Fajar, sesuai dengan Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 7 tahun 2022. “Sidang banding akan dilakukan tanpa kehadiran pelanggar sesuai dengan mekanisme yang berlaku,” tambahnya.
Kasus ini mencuat ketika Mabes Polri mengumumkan penetapan AKBP Fajar sebagai tersangka dengan empat korban, termasuk tiga anak di bawah umur. Investigasi mengungkapkan bahwa Fajar tidak hanya melakukan tindakan pencabulan, tetapi juga merekam kegiatan tersebut dan menjual video ke situs pornografi internasional. Pelanggaran ini, ditambah dengan keterlibatan dalam narkoba, membawa konsekuensi berat bagi kariernya sebagai anggota kepolisian.
Fajar juga mendapatkan sanksi tambahan berupa penempatan di tempat khusus (patsus) di ruang Patsus Biro Provos Propam Polri, selama tujuh hari, terhitung sejak 7 hingga 13 Maret. Penyalahgunaan narkoba yang dilakukannya menjadi salah satu alasan kuat yang mendasari sanksi pemecatan.
Di tengah proses hukum yang masih berlangsung, situasi ini menarik perhatian berbagai pihak, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mendorong penegakan hukum secara maksimal. Berbagai elemen masyarakat juga meminta agar hukuman tegas dijatuhkan untuk mencegah tindakan serupa di masa depan.
Dalam konteks ini, perhatian publik semakin berfokus pada proses banding yang diajukan Fajar. Publik berharap keadilan bagi korban tindak pidana yang dialami. Keterlibatan eks pejabat kepolisian dalam kasus tersebut membuat banyak orang skeptis terhadap integritas institusi kepolisian dan perlindungan terhadap anak di bawah umur.
Kasus ini merupakan pengingat menyakitkan mengenai tantangan yang dihadapi oleh institusi penegak hukum dalam menjaga kewibawaan dan kepercayaan publik. Banyak yang berharap agar langkah-langkah yang diambil untuk menanganinya bisa menjadi pelajaran berharga dalam mencegah terulangnya tindakan amoral di kalangan anggota kepolisian.
Pemberian sanksi yang konsisten dan transparan juga akan sangat menentukan ke depan dalam upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian, sekaligus melindungi masyarakat dari potensi pelanggaran hukum yang melibatkan pihak yang seharusnya menjadi pelindung dan penegak hukum. Keterlibatan AKBP Fajar dalam kasus pelecehan dan narkoba menjadi tantangan besar bagi reformasi di tubuh kepolisian Indonesia.