Cape Town, Octopus – Muhsin Hendricks, yang dikenal sebagai imam gay pertama di dunia, mengalami nasib tragis setelah ia ditembak mati di Afrika Selatan. Kejadian ini terjadi pada Sabtu pagi, 15 Februari 2025, ketika mobil yang ditumpanginya disergap di dekat kota Gqeberha. Hendricks, yang berusia 57 tahun, memimpin masjid yang ditujukan sebagai tempat aman bagi kaum gay dan Muslim terpinggirkan lainnya di Cape Town.
Menurut keterangan dari kepolisian, dua pelaku tak dikenal dengan wajah tertutup keluar dari kendaraan dan mulai menembaki mobil Hendricks. “Mereka melepaskan beberapa tembakan ke kendaraan itu,” ungkap polisi dalam pernyataan resmi. Kematian Hendricks tidak hanya menjadi berita duka bagi keluarganya, tetapi juga mengguncang komunitas LGBTQ+ dan memicu reaksi belasungkawa dari seluruh dunia.
Julia Ehrt, direktur eksekutif di International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA), mengecam kejadian tersebut dan menyerukan penyelidikan yang menyeluruh terhadap kebencian yang ditujukan pada komunitas mereka. “Ia mendukung dan membimbing banyak orang dalam perjalanan mereka untuk mendamaikan iman dan seksualitas mereka,” ungkap Ehrt, dikutip dari BBC Internasional.
Dari informasi yang diperoleh, Hendricks diketahui menjadi pemimpin upacara pernikahan lesbian sebelum kematiannya, meskipun ini belum dikonfirmasi secara resmi. Rincian mengenai serangan tersebut pertama kali muncul melalui rekaman kamera keamanan yang beredar di media sosial. Dalam rekaman tersebut, terlihat mobil yang menghentikan kendaraan yang ditumpangi Hendricks. Seorang penyerang kemudian melompat keluar dan menembak berulang kali ke jendela belakang mobil.
Hendricks adalah pendiri Yayasan Al-Ghurbaah, yang mengelola Masjidul Ghurbaah di Wynberg, Cape Town. Ia dikenal aktif dalam mendukung kaum Muslim queer untuk mendamaikan antara keyakinan agama dan identitas seksual mereka. “Kami meminta agar semua orang bersabar dan menjaga atas apapun yang terjadi,” kata Abdulmugheeth Petersen, ketua dewan yayasan, kepada para pengikutnya di grup WhatsApp.
Konstitusi Afrika Selatan, yang ditetapkan setelah era apartheid, merupakan yang pertama di dunia yang melindungi hak-hak orang berdasarkan orientasi seksual. Pada tahun 2006, Afrika Selatan menjadi negara pertama di Afrika yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Namun, meskipun ada kemajuan dalam pengakuan hak-hak LGBTQ+, diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum gay masih marak terjadi di negara ini.
Muhsin Hendricks telah menjadi figur yang berani dalam mengekspresikan identitasnya. Ia menyatakan diri sebagai gay pada tahun 1996, sebuah pengakuan yang mengejutkan banyak orang, termasuk komunitas Muslim di Cape Town. Sejak saat itu, Hendricks aktif dalam membangun ruang aman bagi individu Muslim queer, yang sering kali menghadapi stigma dan penolakan di komunitas mereka.
Pada tahun 2022, ia bahkan menjadi subjek film dokumenter berjudul “The Radical,” di mana ia menggambarkan tantangan serta ancaman yang dihadapinya. Dalam film tersebut, Hendricks menyatakan, “Kebutuhan untuk menjadi autentik lebih besar daripada rasa takut untuk mati,” sebuah pernyataan yang menunjukkan keberaniannya untuk hidup sesuai dengan identitasnya meskipun dihadapkan dengan risiko besar.
Kematian Hendricks menjadi pengingat akan tantangan yang masih dihadapi oleh komunitas LGBTQ+ di Afrika Selatan, meskipun negara ini memiliki undang-undang yang progresif. Kejadian ini menggugah kesadaran akan perlunya perlindungan dan dukungan bagi individu-individu yang berjuang untuk hak-hak mereka di tengah stigma yang masih ada. Penembakan ini tidak hanya menghancurkan satu jiwa, tetapi juga menyoroti kompleksitas perjuangan bagi kebebasan beragama dan identitas seksual yang masih harus dihadapi oleh banyak orang.