Bagi banyak perantau asal Indonesia, bekerja di luar negeri, terutama di negara dengan mayoritas penduduk nonmuslim, merupakan bagian dari kehidupan. Namun, ketika maut menjemput, proses pengurusan jenazah sering kali menjadi tantangan yang besar. Hal ini terjadi di Yunani, di mana komunitas pekerja migran Indonesia menghadapi kesulitan saat mengurus jenazah salah satu anggota mereka.
Pada 11 Maret 2025, Ketua Rohis Ikatan Kerukunan Keluarga Indonesia di Yunani (IKKIY), Hening, menerima kabar buruk bahwa seorang pekerja migran bernama Ibu Mardiyah meninggal dunia di salah satu rumah sakit di Athena akibat serangan asma. Hening menjelaskan bahwa saat itu, jenazah masih berada di rumah sakit dan belum bisa dimandikan karena menunggu informasi dari Masjid Bangladesh, yang saat itu sedang direnovasi.
Satu-satunya masjid yang dapat digunakan oleh komunitas Islam di Yunani untuk pengurusan jenazah adalah Masjid Al Jabbar. Sayangnya, Masjid Al Ikhlas, yang merupakan masjid komunitas Indonesia, tidak dapat dipakai karena keterbatasan tempat dan izin. Setelah beberapa hari menunggu, pada 14 Maret, Hening menerima kabar baik bahwa Masjid Al Jabbar bersedia menyediakan tempat meskipun dalam keadaan renovasi.
Setelah jam 17.00 waktu Yunani, jenazah tiba di masjid untuk dimandikan dan dikafani. Hening mendapatkan amanah untuk menjadi imam dalam salat jenazah yang juga dihadiri oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Yunani, Dr. Bebeb Djundjunan, dan staf kedutaan lainnya. Selama proses tersebut, Hening mengajukan pertanyaan kepada salah satu pengurus Rohis mengenai lokasi pemakaman jenazah. Ia terkejut mendengar jawaban bahwa pemakaman Muslim terletak jauh dari kota dan memerlukan biaya yang hampir setara dengan ongkos pemulangan jenazah ke Indonesia.
Keputusan pun diambil untuk memulangkan jenazah Ibu Mardiyah ke Indonesia pada 20 Maret 2025. Sebelum itu, mereka harus menjalani proses administrasi yang panjang dan menunggu jadwal penerbangan yang tersedia, yang hanya dapat dilakukan oleh maskapai Qatar Airways. Akibatnya, keluarga terpaksa menunggu selama 10 hari sebelum akhirnya bisa bertemu kembali dengan jasad almarhumah di Tanah Air.
Hening menekankan bahwa kebutuhan akan fasilitas pemakaman Muslim yang lebih dekat dengan perkotaan sangat mendesak. Saat ini, lokasi pemakaman Muslim sulit dijangkau dan membutuhkan biaya tinggi, yang menjadi beban tambahan bagi keluarga yang sedang berduka. Harapannya, pemerintah Yunani dapat menyediakan pemakaman yang lebih aksesibel, sehingga pengurusan jenazah tidak menjadi proses yang menyusahkan bagi umat Islam dan komunitas asing lainnya.
Dalam situasi seperti ini, proses pengurusan jenazah menjadi lebih dari sekadar masalah logistik; ini juga menyangkut penghormatan dan perasaan terakhir bagi orang yang telah meninggal. Hening berpesan agar kedepannya proses ini bisa berjalan lebih mudah dan cepat, sehingga tidak lagi ada keluarga yang harus menunggu terlalu lama dalam masa berkabung.
Kisah ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh para pekerja migran dan komunitas mereka di luar negeri. Dengan meningkatnya jumlah migran Indonesia di berbagai negara, sangat penting untuk memastikan bahwa hak-hak mereka, termasuk dalam urusan pemakaman, dilindungi dan diprioritaskan. Upaya untuk meningkatkan infrastruktur pemakaman bagi umat Islam adalah langkah positif yang perlu didorong agar tragedi semacam ini dapat dikelola dengan lebih baik di masa yang akan datang.