Buronan kasus korupsi e-KTP, Paulus Tannos, yang telah diburu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini berada di tangan otoritas Singapura setelah penangkapannya. Tannos, yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) KPK, saat ini masih menjalani proses hukum di negara tersebut. Proses ekstradisi Tannos ke Indonesia diyakini akan berlangsung rumit dan memakan waktu lebih lama dari yang diharapkan, berpotensi menjadi skenario yang sangat menantang bagi penegakan hukum di Indonesia.
Menteri Dalam Negeri dan Hukum Singapura, K Shanmugam, mengkonfirmasi bahwa pada 19 Desember 2024, Singapura menerima permintaan resmi dari pemerintah Indonesia untuk menangkap Tannos. Menurut Shanmugam, penanganan kasus ini diperhatikan dengan serius karena merupakan kasus pertama dalam kerangka Perjanjian Ekstradisi yang berlaku antara Singapura dan Indonesia mulai Maret 2024.
Shanmugam menjelaskan, pihak berwenang Singapura, termasuk Badan Investigasi Praktik Korupsi (CPIB), melakukan penilaian menyeluruh untuk menentukan apakah permintaan ekstradisi Tannos memenuhi syarat dalam perjanjian tersebut. Dalam waktu singkat, pada 17 Januari 2025, CPIB mengajukan permohonan untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan dan langsung menangkap Tannos pada hari yang sama.
Tannos, yang juga dikenal dengan nama Tionghoa Tjhin Thian Po, telah menantang proses ekstradisi ini. Penasihat hukumnya mengklaim bahwa Tannos memiliki paspor diplomatik yang dikeluarkan oleh Guinea Bissau dan telah mengajukan dokumen tersebut kepada pengadilan. Namun, pemerintah Singapura meyakini bahwa meskipun Tannos memiliki paspor diplomatik, itu tidak memberi dia kekebalan hukum yang menghalangi penangkapannya. Shanmugam mengungkapkan, “Kami tidak bisa begitu saja menerbangkannya ke pesawat dan memulangkannya. Ada proses formal.”
Proses hukum yang melibatkan ekstradisi dapat berlangsung lama, terutama karena Tannos telah menyatakan akan mengajukan keberatan atas ekstradisi tersebut. Masing-masing pihak selama proses ini diharuskan menyampaikan argumen mereka ke pengadilan, yang akan menentukan tanggal untuk mendengarkan kasus tersebut. Menurut Shanmugam, jika Tannos mengajukan banding, prosesnya bisa memakan waktu hingga dua tahun atau lebih. “Sidang dapat bervariasi dari kasus ke kasus,” tambahnya.
Dalam situasi ini, proses hukum yang panjang bisa menjadikan masyarakat Indonesia lebih cemas dalam menantikan kepulangan Tannos ke tanah air untuk menghadapi tuntutan hukum. Ekspektasi masyarakat terhadap proses hukum yang transparan dan adil menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas di kedua negara.
Dari perspektif hukum, Shanmugam menjelaskan bahwa pemerintah Singapura akan berusaha mempercepat proses ekstradisi. Namun, banyak faktor yang memengaruhi lamanya proses tersebut, termasuk argumen hukum yang diajukan oleh tim pengacara Tannos. “Kami harus menyelesaikannya untuk mendapatkan perintah,” ujarnya.
Klerens dalam kerjasama internasional ini sangat penting, terlebih Singapura dan Indonesia memiliki komitmen untuk memberantas korupsi. Kasus ini juga menyoroti tantangan yang dihadapi oleh negara-negara dalam menangani buronan internasional, terutama dalam konteks hukum yang berbeda-beda. Apalagi, dengan adanya perjanjian ekstradisi yang baru diimplementasikan, Singapura menunjukkan komitmennya untuk merespon permintaan peradilan dari negara sahabat secara serius.
Langkah-langkah yang diambil dalam penanganan kasus Paulus Tannos tidak hanya penting bagi penegakan hukum di Indonesia, tetapi juga mencerminkan semangat internasional dalam kerjasama penegakan hukum, yang diharapkan bisa meminimalisir kasus korupsi serta penghindaran tanggung jawab hukum oleh para pelaku kejahatan.