Tarif Baja Trump Memicu Ketegangan Baru dalam Perang Dagang AS-EU

Tarif baja yang diberlakukan oleh Presiden AS, Donald Trump, kembali memicu ketegangan dalam hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa (UE). Keputusan untuk menaikkan tarif impor baja dan aluminium ini menjadi respons atas kebijakan serupa yang diambil oleh Kanada dan beberapa negara lain. Hal ini berpotensi menimbulkan konsekuensi yang lebih luas bagi ekonomi global.

Trump mengungkapkan bahwa “apa pun yang mereka kenakan kepada kami, kami akan mengenakannya kepada mereka,” menunjukkan sikap tegas terhadap kebijakan perdagangan yang dianggap merugikan AS. Dalam langkah terbaru ini, Uni Eropa merencanakan penerapan tarif balasan senilai €26 miliar (sekitar Rp441 triliun), dengan penerapan sebagian tarif dimulai pada 1 April 2023 dan sepenuhnya berlaku pada 13 April 2025.

Ursula von der Leyen, Presiden Uni Eropa, menyatakan penyesalannya terhadap keputusan AS ini, dan mengatakan bahwa tarif tersebut akan “mengganggu rantai pasokan,” serta menciptakan ketidakpastian ekonomi yang berpotensi mengancam lapangan kerja dan menaikkan harga. Ia menekankan bahwa masalah ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan dalam perdagangan internasional dan membuka jalan bagi negosiasi lebih lanjut. Meskipun tarif tersebut terbilang keras, ia menyebutkan bahwa tindakan ini tetap proporsional.

Sejak penerapan kebijakan ini, dampak langsung mulai terasa di pasar. Dalam dua hari (10 dan 11 Maret 2023), indeks saham AS merosot tajam, mengindikasikan kekhawatiran akan resesi yang lebih dalam. Trik pemasaran yang berisiko ini juga membuat industri lain yang bergantung pada baja dan aluminium, seperti otomotif, merasakan dampak negatif. Ford, General Motors, dan Stellantis telah mengungkapkan kekhawatiran bahwa pencabutan pengecualian tarif dari Kanada dan Meksiko akan menyebabkan peningkatan biaya produksi secara signifikan.

Dari sisi domestik, American Iron and Steel Institute (AISI), yang mewakili produsen baja di AS, menyambut baik keputusan Trump. Presiden AISI, Kevin Dempsey, mengatakan bahwa kebijakan ini akan memperkuat industri baja di dalam negeri dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Namun, para kritikus memperingatkan bahwa tindakan ini justru akan memperburuk inflasi, memicu kenaikan harga barang, dan menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Negara-negara lain juga tidak tinggal diam terhadap langkah yang diambil oleh Trump. Menteri Perdagangan Inggris, Jonathan Reynolds, mengungkapkan kekecewaannya dan menekankan bahwa semua opsi akan tersedia untuk melindungi kepentingan nasional. Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, bahkan menyebut bahwa tarif baru ini “tidak dapat dibenarkan” dan memilih untuk tidak mengenakan bea balasan agar tidak menaikkan harga bagi konsumen mereka.

Di sisi lain, Kanada, sebagai mitra dagang utama AS, merespons dengan ancaman balasan. Menteri Energi Kanada, Jonathan Wilkinson, menegaskan bahwa mereka akan membalas, tetapi tidak ingin memperburuk situasi yang ada. Sebelumnya, pada 2018, Trump juga memberlakukan tarif tinggi untuk baja dan aluminium, namun saat itu banyak negara berhasil mendapatkan pengecualian. Kali ini, pemerintahan AS tampaknya tidak memberikan keleluasaan yang sama.

Kekhawatiran akan resesi juga semakin menguat, karena beberapa ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan mengalami penurunan dari 2,4 persen menjadi 2 persen. Laporan dari Oxford Economics menunjukkan bahwa meskipun ada potensi penurunan, ekonomi AS masih akan unggul dalam beberapa tahun ke depan. Namun, kekhawatiran ini tetap menjadi sinyal merah bagi banyak pelaku pasar. Di tengah ketidakpastian, banyak yang berharap agar negosiasi dan dialog dapat dilakukan untuk menghindari potensi dampak negatif yang lebih besar akibat ketegangan perdagangan ini.

Exit mobile version