Pemerintah China baru-baru ini mengambil langkah tegas dengan mengeksekusi mati dua pelaku yang terlibat dalam serangan pembunuhan acak yang telah mengguncang masyarakat. Tindakan ini diambil dalam konteks meningkatnya kemarahan publik terhadap tindak kekerasan yang terus terjadi, yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Penyelidikan mendalam menunjukkan bahwa kasus-kasus ini tidak hanya berkaitan dengan tindakan kriminal semata, tetapi juga membawa pertanyaan yang lebih besar terkait masalah kesehatan mental dan kondisi sosial masyarakat.
Kasus pembunuhan acak di China telah menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan selama beberapa tahun terakhir. Dari berbagai analisis, banyak faktor dianggap berkontribusi terhadap meningkatnya angka kekerasan tersebut. Masalah kesehatan mental, kesulitan ekonomi, pengangguran, serta tekanan sosial menjadi beberapa elemen yang diyakini berperan besar dalam gejala ini. Adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap situasi politik dan ekonomi saat ini juga menjadi pemicu yang tidak bisa diabaikan.
Contoh konkret dari fenomena ini dapat dilihat dalam dua kasus pembunuhan yang menonjol pada tahun 2024. Fan Weiqu, seorang pria berusia 62 tahun, diekskusi mati setelah menabrakkan mobilnya ke kerumunan di Zhuhai, yang mengakibatkan 35 nyawa melayang. Di tempat lain, Xu Jianjin, dijatuhi hukuman yang sama akibat penikaman brutal di sekolah kejuruan di Wuxi yang mengakibatkan delapan orang tewas dan 17 lainnya terluka.
Psikoterapis Xiaojie Qin mencatat bahwa faktor ekonomi yang melemah pasca-pandemi COVID-19 telah memperburuk masalah kesehatan mental di kalangan masyarakat. Penurunan kesempatan kerja dan kesenjangan ekonomi menciptakan rasa ketidakadilan dan berpotensi mendorong individu yang terpinggirkan untuk mengambil tindakan kekerasan. Ia menyatakan, “Mereka yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi mungkin merasa kehilangan kendali dan merespons dengan kekerasan saat emosi tak tertahankan.”
Serangkaian serangan ini bukanlah kasus terpencil. Data mencatat bahwa selama tahun 2024, terjadi minimal 20 serangan pembunuhan acak di seluruh China, mengakibatkan lebih dari 90 nyawa melayang. Salah satu serangan terjadi di sebuah supermarket sibuk di Shanghai, di mana seorang pria berusia 37 tahun melakukan penyerangan yang mengakibatkan tiga orang tewas dan lebih dari 15 lainnya terluka.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah juga terlihat jelas di media sosial. Banyak pengguna yang mengekspresikan rasa frustrasi mereka dengan menyatakan bahwa “orang-orang China sangat menderita” dan mempertanyakan apakah serangan balas dendam ini mencerminkan kegelapan yang mendalam dalam masyarakat. Menurut analisis profesional, serangan publik sering kali merupakan reaksi terhadap penindasan yang dialami masyarakat.
Langkah pemerintah dalam menghadapi krisis ini semakin menunjukkan kebijakan sensor dan pendekatan represif, alih-alih menangani masalah sosial yang mendasari. Professor Peidong Sun dari Universitas Cornell menjelaskan bahwa respons pemerintah yang terpusat dan otoriter justru akan memperparah krisis yang ada. “Jika pemerintah tidak mengubah pendekatan mereka, mereka berisiko mendorong siklus frustrasi dan keresahan yang dapat meningkat menjadi kekerasan,” ujarnya.
Pengamat kebijakan, Irene Chou, menyoroti bahwa meningkatnya pengawasan di China tidak membantu menyelesaikan masalah, melainkan merugikan masyarakat yang ingin mendiskusikan insiden brutal yang terjadi. Dia menyarankan bahwa diskusi terbuka tentang penyebab kekerasan yang mendasarinya sangat penting untuk memahami keseluruhan situasi.
Memang, meskipun tingkat kejahatan di China masih tergolong lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata global, namun kurangnya transparansi dan pelaporan yang baik membuat ketidakpastian meningkat. Jika tidak ada reformasi sistemik untuk menangani masalah-masalah ini, China akan berisiko menghadapi krisis yang jauh lebih besar di masa depan. Situasi ini menyoroti perlunya perhatian lebih besar terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan sosial warganya untuk mencegah kekerasan yang lebih lanjut.