Rencana Mesir untuk Gaza: Penolakan Proposal Trump yang Mendesak

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengumumkan proposal yang mengundang kontroversi terkait Jalur Gaza. Dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada 5 Februari 2025, Trump menyatakan ketertarikan AS untuk mengambil alih wilayah Gaza, yang selama ini dikenal sebagai daerah dengan tingkat ketidakstabilan yang tinggi. “Gaza telah menjadi simbol kematian dan kehancuran,” ucap Trump, menekankan rencana pemindahan warga Gaza secara paksa demi menciptakan keamanan.

Proposal Trump ini menyiratkan bahwa Gaza hanya dilihat sebagai lahan untuk investasi dan rekreasi, suatu pandangan yang dicap oleh banyak pihak sebagai pemikiran ekspansionis dan mengabaikan isu-isu hak asasi manusia. Dalam pengumuman yang diucapkan pada pesawat menuju New Orleans, Trump bahkan mengklaim komitmen untuk “membeli dan memiliki Gaza,” yang menimbulkan tanda tanya besar tentang pelanggaran hukum internasional dan kemanusiaan yang mungkin terjadi akibat pemindahan penduduk secara paksa.

Rencana tersebut mendapat kritik keras dari berbagai pihak, termasuk dari Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres. Dalam pertemuan PBB yang diadakan pada tanggal yang sama, Guterres menyerukan perlunya solusi konflik di Gaza yang menghormati hak asasi manusia dan menghindari pembersihan etnis. Guterres mengingatkan bahwa pengusiran penduduk sipil secara paksa merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional.

Reaksi serupa juga datang dari Raja Yordania, Abdullah II, yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap setiap rencana yang akan mengakibatkan pemindahan paksa warga Palestina. Di tengah penolakan tersebut, Indonesia turut mengeluarkan pernyataan tegas melalui Kementerian Luar Negeri. Indonesia menekankan bahwa pemindahan paksa warga Palestina dapat menghambat tercapainya kekuasaan dan kemerdekaan Palestina, serta menyerukan komunitas internasional untuk menghormati hak dasar rakyat Palestina.

Sebagai tanggapan atas proposal Trump yang kontroversial itu, Mesir menawarkan rencana alternatif yang lebih manusiawi. Dalam pertemuan darurat Liga Arab yang berlangsung di Kairo pada tanggal 4 Maret 2024, Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi, mengusulkan investasi sebesar 53 miliar dolar untuk Gaza. Rencana ini bertujuan untuk mendukung rehabilitasi infrastruktur tanpa harus mengusir penduduknya dari tempat tinggal mereka. Al-Sisi menekankan bahwa fase awal akan fokus pada pembersihan reruntuhan dan penyediaan tempat tinggal sementara bagi warga Gaza yang kehilangan rumah.

Rencana Mesir tidak hanya menangani aspek fisik pemulihan, tetapi juga akan membentuk sebuah komite administratif yang terdiri dari teknokrat Palestina untuk memimpin Gaza setelah rekonstruksi. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa kepemimpinan yang sesuai dan transisi yang mulus dapat dilakukan untuk mengembalikan Otoritas Palestina ke posisi mereka.

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, menyambut baik inisiatif Mesir ini, menyatakan bahwa rencana tersebut memberikan harapan kemanusiaan bagi warga Gaza. Dukungan terhadap rencana ini juga datang dari negara-negara Arab seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi yang dengan jelas menolak setiap bentuk pemindahan paksa warga Palestina.

Proposal Mesir telah menghidupkan kembali diskusi tentang solusi yang lebih berkelanjutan bagi konflik di Gaza. Sebagian besar negara dan organisasi internasional yang menentang rencana Trump sepakat bahwa kunci untuk mencapai perdamaian yang kuat dan permanen adalah melalui pendekatan yang menghormati hak asasi manusia. Dengan demikian, rencana Mesir menjadi bentuk penolakan yang jelas terhadap proposal kontroversial Trump dan menawarkan harapan baru bagi masa depan Gaza dan seluruh rakyat Palestina.

Exit mobile version