Proyek investasi besar-besaran yang diluncurkan oleh China, yang dikenal dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), kini menghadapi penolakan keras di Indonesia. Inisiatif yang dicanangkan pada 2013 ini bertujuan untuk memperkuat hubungan perdagangan global melalui pembangunan infrastruktur. Namun, di tengah ambisinya, proyek tersebut menghadapi berbagai masalah, termasuk kerusuhan buruh dan kontroversi sosial.
Salah satu insiden terbaru terjadi pada 2 Maret 2025, ketika buruh di kawasan industri Morowali melakukan demonstrasi dan pemogokan yang berujung kericuhan. Aksi protes ini merupakan ungkapan ketidakpuasan atas kebijakan manajemen yang dituduh represif. Para pekerja marah hingga membakar fasilitas di kawasan tersebut, termasuk pos jaga dan mobil patroli, menciptakan suasana tegang dan menegaskan keresahan yang berkembang di kalangan buruh.
Kawasan industri yang terlibat dalam proyek ini sebagian besar dimiliki oleh Dingxin Group, perusahaan investasi asal China, melalui anak perusahaannya, Tsingshan dan Bintang Delapan Group. Fokus operasional utama adalah penambangan nikel, peleburan, dan pengiriman—komponen yang sangat penting dalam produksi baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat. Meski begitu, pekerja lokal merasakan dampak negatif dari proyek ini, yang berfokus pada keuntungan besar tanpa perhatian yang cukup pada kesejahteraan mereka.
Aksi demonstrasi tersebut merupakan yang kedua dalam dua bulan, di mana sebelumnya pada Februari, protes massal juga terjadi dengan tuntutan yang sama terkait hak-hak buruh. Banyak pekerja, terutama yang berasal dari perusahaan outsourcing China, melaporkan penahanan kerja selama enam bulan tanpa hari libur. Hal ini menciptakan semakin banyak ketidakpuasan yang berujung pada protes berskala besar.
Sisi lain dari kemarahan ini menunjukkan masalah mendalam yang sedang dihadapi oleh proyek BRI secara keseluruhan. Pengamatan dari berbagai pihak menunjukkan bahwa setelah lebih dari satu dekade berjalan, visi ambisius BRI kini tampak dipenuhi kendala, seperti tuduhan jebakan utang, kerusakan lingkungan, dan kasus korupsi di negara-negara partisipan. Situasi ini semakin diperburuk dengan jatuhnya korban jiwa, setidaknya 22 pekerja China dan Indonesia dilaporkan kehilangan nyawa di tambang nikel di Sulawesi Tengah sejak 2019.
Ketidakpuasan ini semakin terdengar di dunia maya, dengan banyak pengguna media sosial mengeluarkan reaksi negatif terhadap eksploitasi yang dialami para pekerja. Di tengah tekanan ekonomi yang meningkat di dalam negeri, laporan lain menunjukkan bahwa pekerja yang terlibat dalam proyek BRI juga mengalami masalah besar, termasuk keterlambatan pembayaran gaji dan kondisi kerja yang buruk, memperburuk suasana yang sudah tegang.
Aspek lingkungan juga menjadi perhatian signifikan. Proyek infrastruktur besar sering kali menyebabkan degradasi ekosistem dan menciptakan dampak negatif bagi masyarakat setempat. Selain itu, semakin terdengar dugaan bahwa proyek-proyek dalam kerangka BRI menyebabkan jebakan utang bagi negara-negara yang terlibat, mengingat kesulitan untuk melunasi pinjaman besar yang diberikan oleh China.
Inisiatif BRI, meskipun awalnya dianggap sebagai kendaraan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi dan konektivitas, kini menghadapi kriteria evaluasi yang lebih ketat. Dengan berbagai tantangan dan kontroversi yang muncul, jelas bahwa proyek ini memiliki jalan terjal di depan, penuh dengan ketidakpastian dan risiko yang perlu dihadapi oleh semua pemangku kepentingan, termasuk Indonesia. Ke depannya, perlu upaya lebih dari semua pihak untuk menempatkan fokus pada kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan agar tujuan yang mulia dari proyek BRI tidak hanya menjadi sekadar mimpi.