Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. menegaskan bahwa penangkapan mantan presiden Rodrigo Duterte tidak memiliki motif politik. Dalam konferensi pers yang diadakan pada Selasa (11 Maret 2025), Marcos menjelaskan bahwa kasus yang menjerat Duterte sudah ada sejak 2017, saat Filipina masih menjadi anggota Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan ketika Duterte masih menjabat sebagai presiden.
Marcos menyatakan, “Jadi, saya tak melihat adanya persekusi politik di sini karena kasusnya pun terjadi sebelum saya muncul.” Pernyataan ini dibuat dalam konteks penangkapan Duterte yang eksekusinya melibatkan prosedur hukum yang sah, sesuai permintaan Interpol berdasarkan perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh ICC.
Pemerintah Filipina, di bawah kepemimpinan Marcos, mengonfirmasi bahwa langkah penangkapan ini adalah bagian dari kewajiban untuk memenuhi permintaan Interpol. Ia menekankan bahwa Filipina mengikuti semua prosedur hukum yang diperlukan, dan yakin akan tata cara yang dijalankan. “Saya yakin jika diteliti lebih lanjut, pasti prosesnya sudah tepat dan benar,” lanjutnya.
Meskipun pihak Filipina tidak akan berkolaborasi dengan ICC, Marcos memberikan alasan yang kuat untuk memenuhi perintah penangkapan terhadap Duterte. “Ada permintaan kepada pemerintah Filipina dari Interpol untuk melaksanakan perintah penangkapan dan tentu saja kami memenuhi komitmen terhadap Interpol. Kami melakukannya bukan karena perintah tersebut berasal dari ICC. Kami melakukannya karena diminta Interpol,” ungkapnya.
Duterte ditangkap oleh kepolisian Filipina pada pagi hari Selasa (12 Maret 2025) saat tiba di Bandara Internasional Ninoy Aquino di Manila dari Hong Kong. Setelah ditangkap, ia dibawa ke Pangkalan Udara Villamor. Penangkapan ini merupakan bagian dari investigasi ICC terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama penerapan kebijakan “perang melawan narkoba” yang kontroversial di bawah kepemimpinannya, baik ketika ia menjabat sebagai wali kota Davao City maupun sebagai presiden.
Interpol Manila sendiri sempat menerima salinan resmi surat perintah penahanan Duterte dari ICC. Meski Filipina telah menarik diri dari ICC pada Maret 2019, ICC tetap berpendapat bahwa mereka masih memiliki kewenangan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum penarikan tersebut, antara lain karena Filipina merupakan negara penandatangan Statuta Roma dari 2011 hingga 2019.
Tindakan penangkapan ini juga memunculkan sorotan tajam dari berbagai kalangan, menciptakan spekulasi tentang kemungkinan reaksi dari pendukung setia Duterte dan efek jangka panjangnya terhadap stabilitas politik di Filipina. Selain itu, adanya penugasan ke Den Haag, Belanda, untuk proses pengadilan telah menjadi topik yang mengundang perhatian di kalangan aktivis dan pengamat internasional.
Seiring dengan penangkapan Duterte, publik Filipina menyaksikan perkembangan yang dramatis dalam narasi politik negara mereka, yang pernah dikecam karena pelanggaran hak asasi manusia selama masa kepemimpinan Duterte. Penangkapan ini berpotensi menjadi pengubah permainan dalam konteks keadilan dan akuntabilitas di Filipina, terutama di tengah perdebatan tentang warisan Duterte dan dampak kebijakannya di masa mendatang.
Langkah yang diambil oleh Marcos dan pemerintahnya dalam menangani kasus ini akan terus menjadi fokus perhatian, terutama dengan tantangan yang dihadapi masyarakat Filipina untuk mengatasi dampak dari kebijakan kontroversial yang diterapkan pada era kepresidenan Duterte.