Mantan Presiden Peru, Ollanta Humala, bersama istrinya, Nadine Heredia, dijatuhi hukuman 15 tahun penjara setelah terbukti melakukan pencucian uang. Putusan tersebut dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Nasional Peru pada Selasa (15/04/2025), yang mengungkapkan bahwa pasangan ini menerima dana ilegal dari raksasa konstruksi Brasil, Odebrecht, sebagai sumbangan untuk kampanye pemilihan mereka pada tahun 2006 dan 2011.
Pengadilan menemukan bukti bahwa Humala dan Heredia menerima beberapa juta dolar dari Odebrecht serta dari pemerintah Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chávez. Kasus ini menambah daftar panjang mantan pemimpin Peru yang terjerat dalam berbagai tuduhan korupsi. Dengan hukuman ini, Humala menjadi mantan presiden ketiga yang dipenjara dalam dua dekade terakhir, mengikuti jejak Alejandro Toledo, yang dijatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 2024, dan Alberto Fujimori, yang terlibat dalam sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Proses hukum Humala dimulai pada tahun 2022 dan mencakup delapan terdakwa lainnya, yang menunjukkan skala penyelidikan yang meluas terkait korupsi di tingkat tinggi di Peru. Sebelumnya, pada tahun 2017, Humala dan Heredia sempat ditahan dalam tahanan praperadilan selama satu tahun untuk mencegah kemungkinan melarikan diri.
Kasus ini tidak terlepas dari pengakuan Odebrecht pada tahun 2016 mengenai praktik suap yang melibatkan banyak negara di Amerika Latin. Kebanyakan dari presiden yang menjabat di Peru sejak 2001 terlibat dalam skandal serupa. Alejandro Toledo terus menjalani hukuman penjara, sementara mantan presiden Pedro Pablo Kuczynski berada dalam tahanan rumah. Selain itu, Alan García, mantan presiden yang menjabat dua periode, bunuh diri pada tahun 2019 ketika pihak berwenang berupaya menangkapnya terkait skandal korupsi Odebrecht.
Tidak hanya presiden, banyak tokoh politik lainnya seperti mantan kandidat presiden Keiko Fujimori dan beberapa mantan gubernur juga sedang dalam proses penyelidikan terkait kasus ini. Skandal Odebrecht, yang kini telah menjadi berita besar di seluruh Amerika Latin, mengungkap korupsi sistematis yang merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Odebrecht, yang sekarang dikenal sebagai Novonor, merupakan konglomerat konstruksi Brasil yang memiliki jejak global. Didirikan pada tahun 1944, perusahaan ini terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur besar di banyak negara. Meskipun terlibat dalam skandal besar, Odebrecht sebelumnya dikenal karena proyek-proyek infrastruktur vitalnya, mulai dari pembangunan pembangkit listrik hingga transportasi massal.
Namun, reputasi perusahaan tersebut tercoreng akibat terbongkarnya skandal korupsi dalam Operasi Car Wash di Brasil pada tahun 2014. Investigasi menunjukkan bahwa Odebrecht terlibat dalam praktik penyuapan untuk mendapatkan kontrak proyek. Hal ini mengakibatkan penangkapan sejumlah eksekutif senior, termasuk CEO Marcelo Odebrecht, serta denda miliaran dolar dan kerusakan citra yang tidak bisa diperbaiki.
Ke depan, setelah mengalami masa sulit akibat skandal tersebut, Novonor kini berupaya membangun kembali bisnisnya dengan menerapkan prinsip-prinsip integritas dan transparansi. Perusahaan ini berharap dapat kembali menjadi pemimpin dalam industri konstruksi dan infrastruktur dengan pendekatan yang lebih etis.
Hukuman bagi Humala dan Heredia menjadi pengingat bahwa meskipun kekuasaan dapat memberikan kontrol dan privilese, pertanggungjawaban atas tindakan korupsi akan selalu menanti. Penegakan hukum yang ketat dan transparansi yang lebih baik sangat penting untuk memastikan bahwa peristiwa seperti ini tidak terulang di masa depan, baik di Peru maupun di negara lain di seluruh dunia.