Mbah Tupon di Bantul: Korban Mafia Tanah, Tak Bisa Baca Tulis!

Bantul, Octopus – Mbah Tupon Hadi Suwarno (68), warga Dusun Ngentak, Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, terancam kehilangan tanahnya akibat aksi mafia tanah. Tanah seluas 1.655 meter persegi yang dihuni oleh Mbah Tupon saat ini dalam risiko penyitaan dan lelang oleh bank.

Peristiwa ini bermula dari transaksi jual beli tanah yang dilakukan Mbah Tupon pada tahun 2020. Ia menjual sebagian tanahnya seluas 298 meter persegi kepada seorang berinisial BR dengan harga Rp 1 juta per meter. Dalam kesepakatan, Mbah Tupon dijanjikan akan dibantu dalam proses pemecahan sertifikat untuk tanah seluas 1.665 meter persegi yang tersisa.

Mbah Tupon, yang kurang memiliki kemampuan membaca dan menulis, mengaku hanya diminta untuk menandatangani dokumen tanpa memahami isinya. “Kulo niku mboten iso moco mboten iso nulis. Kulo namung dijak terus dijaluki tanda tangan,” ungkapnya ketika diwawancarai.

Kisah ini berlanjut ketika anak Mbah Tupon, Heri Setiawan (31), menyatakan bahwa mereka baru mengetahui tanah milik Mbah Tupon telah dibalik nama menjadi milik orang lain, yakni IF, saat petugas bank datang pada Maret 2024. Tanah tersebut digunakan sebagai jaminan pinjaman oleh IF senilai Rp 1,5 miliar. Heri mengungkapkan, “Sertifikat tanah itu dipakai buat jaminan pinjaman ke bank, tapi sejak awal meminjam, IF belum pernah mengangsur sama sekali.”

Keputusan untuk kembali menelusuri kasus ini diambil oleh Heri setelah mendapati bahwa orang-orang terkait termasuk BR dan TR, yang merupakan orang kepercayaan BR, tidak memberikan transparansi mengenai proses pemecahan sertifikat. Mbah Tupon beberapa kali ditanya tentang perkembangan proses tersebut namun selalu mendapatkan jawaban yang samar.

Dalam beberapa kesempatan, Mbah Tupon diajak oleh TR ke lokasi yang berbeda untuk menandatangani dokumen yang tidak dijelaskan kepadanya. Tindakan ini mendorong Heri untuk melaporkan kasus tersebut ke Polda DIY, dengan melapor terhadap lima orang yang terlibat, termasuk BR, TR, IF, serta dua notaris yang diduga terlibat, TRY dan AR.

Heri berharap agar kasus ini mendapatkan perhatian yang serius dari pihak berwajib. “Kami tidak ingin ada orang lain yang jadi korban seperti ayah kami. Semua ini berawal dari ketidakpahaman dan manipulasi informasi,” tegasnya.

Mbah Tupon sendiri merasa bingung dan sedih akibat peristiwa ini. Ia hanya menginginkan agar sertifikat tanahnya dapat kembali ke tangannya. “Pokoke sertifikat kulo saget wangsul ing tangan kulo malih,” harapnya.

Peristiwa ini mengingatkan kita akan perlunya literasi hukum dan advokasi untuk melindungi masyarakat yang kurang beruntung, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis. Dalam masyarakat yang semakin kompleks, kesadaran akan hak-hak atas tanah dan pemahaman proses hukum sangat diperlukan. Sebagai langkah ke depan, dukungan dari pemerintah dan organisasi non-pemerintah sangat penting dalam memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat agar mereka dapat menjaga aset berharga mereka dari praktik-praktik yang merugikan.

Exit mobile version