Literasi Dana Pensiun Naik, Tapi Inklusi Turun! Edukasi Kunci

Pengamat industri dana pensiun, Syarif Yunus, mengemukakan bahwa terdapat ketimpangan signifikan antara jumlah peserta baru program dana pensiun dengan peserta yang memasuki masa pensiun. Hal ini berdampak pada penurunan indeks inklusi dana pensiun di Indonesia, sesuai dengan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025. Dalam survei tersebut, literasi keuangan di sektor dana pensiun meningkat sedikit, dari 27,55% menjadi 27,79%. Namun, sebaliknya, indeks inklusi dana pensiun turun dari 5,62% menjadi 5,37%.

“Artinya, banyak peserta dana pensiun yang sudah memasuki usia pensiun dan mengambil manfaat dari program tersebut, sementara peserta baru tidak sebanyak yang pensiun,” ungkap Syarif dalam keterangannya pekan lalu. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis partisipasi yang perlu diatasi.

Meskipun ada peningkatan kecil dalam literasi, Syarif menekankan bahwa edukasi dan akses digital harus ditingkatkan secara terus-menerus. Hal ini penting untuk meningkatkan indeks inklusi dana pensiun, sehingga masyarakat lebih terfasilitasi oleh program pensiun. Menurutnya, dua kunci utama untuk mencapai tujuan ini adalah edukasi yang berkelanjutan dan kemudahan akses digital untuk program pensiun.

Syarif juga mencatat bahwa tantangan utama dalam implementasi digitalisasi sektor dana pensiun adalah konsistensi dari perusahaan-perusahaan penyelenggara. Ia berharap dengan adanya akses digital, target pertumbuhan literasi dan inklusi dana pensiun sebesar 5% setiap tahunnya hingga 2028 bisa tercapai.

Selain itu, penambahan jumlah peserta baru program dana pensiun yang tidak optimal turut berpengaruh terhadap lambatnya pertumbuhan iuran dana pensiun. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai iuran program pensiun sukarela per Desember 2024 tercatat sebesar Rp 39,14 triliun, dengan pertumbuhan hanya 2,62% year-on-year (YoY). Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan yang tercatat pada Desember 2023, yaitu sebesar 17,61% YoY.

Lebih jauh, Syarif menjelaskan bahwa penurunan partisipasi ini juga dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK). Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang tahun 2024 terdapat 77.965 orang yang mengalami PHK, meningkat 20,2% dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 64.855 tenaga kerja. Kondisi ini jelas memengaruhi ketahanan finansial masyarakat serta partisipasi dalam program dana pensiun.

“Berkurangnya iuran program pensiun sukarela dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, jumlah peserta yang berkurang akibat PHK. Kedua, relaksasi iuran karena kondisi ekonomi yang tidak menentu, sehingga iuran bisa ditunda. Ketiga, adanya pengurangan besaran iuran di program pensiun,” jelas Syarif lebih lanjut.

Melihat kecenderungan ini, penting bagi semua pihak, baik pemerintah, industri, maupun masyarakat, untuk berkolaborasi dalam meningkatkan kesadaran tentang pentingnya dana pensiun dan manfaatnya. Tanpa adanya penambahan peserta baru yang signifikan, keberlanjutan program dana pensiun di Indonesia bisa terancam. Dengan upaya memperkuat edukasi dan memberikan akses yang lebih baik kepada masyarakat, diharapkan tantangan ini dapat diatasi.

Situasi ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk strategi yang lebih efektif dalam meningkatkan partisipasi dana pensiun. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, menyediakan solusi berbasis teknologi untuk akses program pensiun bisa menjadi langkah awal untuk mencapai inklusi yang lebih baik. Edukasi yang tepat dan akses mudah dapat menjadi jembatan untuk membawa masyarakat lebih dekat pada kesiapan masa pensiun yang lebih baik.

Exit mobile version