Ketidakpastian ekonomi global akhir-akhir ini mulai menekan sektor pembiayaan di Indonesia. Setelah sempat menikmati periode pertumbuhan dua digit, industri multifinance kini mengalami perlambatan yang signifikan, dengan pertumbuhan yang melambat ke level satu digit. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa piutang perusahaan pembiayaan hanya tumbuh 5,92% secara tahunan (year on year) menjadi Rp507,02 triliun per Februari 2025, angka ini terpantau lebih rendah dibandingkan pertumbuhan Januari 2025 yang mencapai 6,04%.
Dalam menghadapi tantangan ini, PT BRI Multifinance Indonesia (BRI Finance) mengambil langkah proaktif dengan fokus pada penguatan sinergi dengan induk perusahaan, Bank Rakyat Indonesia (BRI). Direktur Utama BRI Finance, Wahyudi Darmawan, menjelaskan bahwa strategi ini diharapkan dapat memanfaatkan potensi basis nasabah BRI yang luas dan dinilai memiliki risiko yang lebih rendah.
“BRI Finance menerapkan strategi untuk menguatkan sinergi dengan BRI sebagai induk perusahaan, yang memanfaatkan potensi nasabah BRI yang luas. Selain itu, kami juga melakukan transformasi model bisnis untuk diversifikasi produk pembiayaan agar lebih mengarah ke Captive Market BRI,” jelas Wahyudi.
Kondisi ekonomi yang menantang ini membuat masyarakat menjadi lebih berhati-hati dalam pengeluaran, terutama dalam keputusan pembelian barang yang membutuhkan pembiayaan seperti kendaraan. Konsumen kini semakin selektif, yang berpotensi meningkatkan risiko pembiayaan, termasuk munculnya kredit macet yang dapat mempengaruhi kualitas aset perusahaan. Untuk itu, BRI Finance menyediakan berbagai pilihan tenor pembiayaan, baik jangka pendek maupun panjang, sebagai respons terhadap preferensi utama konsumen.
“BRI Finance menyediakan berbagai pilihan tenor yang dapat dipilih oleh calon debitur untuk mengakomodasi preferensi konsumen yang kini lebih hati-hati dalam mengambil komitmen jangka panjang,” tambahnya.
Selain itu, perusahaan ini juga memperkuat lini pembiayaan produk high-yield, seperti mobil bekas dan fasilitas dana tunai, sebagai alternatif yang lebih terjangkau bagi konsumen. Langkah ini diambil untuk menghindari dampak negatif dari kenaikan suku bunga ekspor-impor yang mempengaruhi harga kendaraan baru.
“Warga negara harus terhindar dari dampak kenaikan suku bunga ekspor-impor yang tentunya berpengaruh pada harga kendaraan. Oleh karena itu, kami menawarkan pembiayaan untuk kendaraan bekas dan fasilitas dana tunai untuk memenuhi kebutuhan finansial masyarakat,” jelas Wahyudi.
Dari sudut pandang manajemen risiko, BRI Finance menerapkan strategi pertumbuhan selektif guna menjaga rasio kredit macet tetap sehat. Wahyudi mengungkapkan, “Untuk menjaga angka NPF (non-performing financing) kami, BRI Finance melakukan pertumbuhan selektif dalam rangka memperbaiki kualitas portofolio, serta melakukan rekomposisi piutang pembiayaan sehingga angka NPF tetap terjaga di bawah 2%.”
Meskipun pembiayaan konsumsi mengalami tekanan, OJK mencatat bahwa pembiayaan investasi masih tumbuh kuat, dengan pertumbuhan mencapai 12,98% year on year per Februari 2025. Hal ini menunjukkan ada segmen-segmen dalam industri multifinance yang masih menunjukkan performa positif meskipun ada perlambatan secara keseluruhan.
Sementara itu, OJK juga menyampaikan bahwa rasio Non-Performing Financing (NPF) gross mengalami penurunan menjadi 2,87% per Februari 2025, menunjukkan bahwa sektor multifinance masih dalam kondisi yang terjaga dari segi risiko.
Dengan berbagai langkah dan strategi yang diambil, BRI Finance bertekad untuk tidak hanya bertahan namun juga tumbuh di tengah perlambatan industri multifinance. Fokus pada sinergi dengan induk perusahaan dan inovasi dalam produk pembiayaan diharapkan akan membantu perusahaan meraih pertumbuhan yang lebih baik di masa mendatang. Sementara itu, industri multifinance secara keseluruhan masih memerlukan adaptasi untuk menghadapi tantangan ekonomi yang terus berubah.