Badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, melaporkan bahwa pasukan Israel telah melakukan serangan terhadap empat sekolahnya di Yerusalem Timur pada hari Selasa. Dalam kejadian tersebut, pihak Israel memerintahkan penutupan sekolah-sekolah tersebut, yang berdampak langsung terhadap ratusan siswa. Sebanyak 350 siswa dan 30 staf berada di lokasi saat penyerbuan berlangsung di Pusat Pelatihan Qalandiya. Penggunaan gas air mata dan granat suara oleh polisi Israel selama penggerebekan menimbulkan suasana mencekam di sekolah-sekolah yang telah menjadi tempat belajar tersebut.
Pemerintah Israel telah mengakhiri hubungan dengan UNRWA dan melarang badan tersebut untuk beroperasi di wilayah mereka. Tuduhan yang dilontarkan oleh pihak Israel menuduh UNRWA telah disusupi oleh kelompok Hamas di Jalur Gaza. Namun, pihak UNRWA membantah keras tuduhan ini. Juru bicara polisi Israel, Dean Elsdunne, menjelaskan bahwa pihaknya tidak memasuki gedung PBB, melainkan tindakan penutupan dilakukan oleh otoritas kota Yerusalem. “Polisi dikerahkan untuk melindungi pekerja kota,” ujarnya, mengklaim bahwa pihaknya mengambil tindakan pembubaran kerusuhan ketika sekelompok orang melempar batu ke arah mereka di luar fasilitas PBB.
Roland Friedrich, direktur UNRWA untuk wilayah Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, menyatakan bahwa tindakan polisi Israel merupakan pelanggaran berat terhadap hak istimewa dan kekebalan PBB. Ia juga menambahkan bahwa penggerebekan ini telah menyangkal hak atas pendidikan bagi anak-anak dan peserta pelatihan yang berada di sekolah tersebut. Kejadian ini menunjukkan betapa rentannya situasi pendidikan di kawasan yang terpelosok oleh konflik tersebut, di mana ketegangan antara Israel dan Palestina kembali meningkat.
Kondisi ini bukanlah hal baru dalam konteks pendidikan di Yerusalem Timur, di mana banyak siswa Palestina menghadapi tantangan berat akibat ketegangan politik dan konflik yang berkepanjangan. Serangan terhadap institusi pendidikan, terutama yang dikelola oleh badan internasional, semakin menegaskan besarnya dampak konflik terhadap generasi muda. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan tentang serangan terhadap sekolah-sekolah Palestina telah muncul dengan intensitas yang mengkhawatirkan.
Pihak UNRWA memiliki tanggung jawab untuk memberikan layanan pendidikan dan kesehatan bagi pengungsi Palestina, yang tercatat lebih dari lima juta jiwa. Namun, pembatasan dan serangan yang kerap terjadi membuat mereka semakin sulit untuk melaksanakan misi tersebut secara efektif. Penutupan sekolah-sekolah tidak hanya mengganggu proses belajar-mengajar, tetapi juga memberi dampak psikologis yang mendalam terhadap anak-anak yang seharusnya menerima pendidikan yang layak.
Situasi ini menarik perhatian dari berbagai pihak internasional, yang mendesak agar kedua belah pihak menjalin dialog yang konstruktif untuk mengakhiri siklus kekerasan. Komunitas internasional, termasuk negara-negara anggota PBB, telah berulang kali menyerukan perlunya perlindungan terhadap anak-anak di zona konflik dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dalam konteks yang lebih luas, serangan terhadap sekolah-sekolah UNRWA di Yerusalem Timur adalah pengingat dramatis tentang tantangan yang dihadapi oleh pengungsi Palestina. Ketidakpastian mengenai masa depan pendidikan anak-anak di wilayah tersebut terancam oleh tindakan militaristik dan kebijakan yang merugikan. Para pengambil keputusan, baik di tingkat lokal maupun internasional, diharapkan dapat memberikan perhatian dan dukungan nyata bagi pendidikan dan kesejahteraan anak-anak Palestina, agar mereka dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung.