Israel Rebut Dana Pajak Palestina Rp1,46 T: Apa Dampaknya?

Israel kembali mengambil langkah kontroversial dengan merebut dana tambahan dari pemasukan pajak Otoritas Palestina sebesar 90 juta dolar AS, setara dengan Rp1,46 triliun. Penangkapan dana ini dilakukan oleh pemerintah Israel di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu dengan tujuan untuk mengalihkan dana tersebut kepada warga Israel yang mengklaim sebagai korban dari serangan yang dilakukan oleh Palestina.

Keputusan ini dinyatakan oleh Bezalel Smotrich, ketua otoritas keuangan Israel, yang mengaku bahwa alokasi dana tersebut adil dan bermoral. Sebagai tambahan, Smotrich mengungkapkan bahwa pengalihan dana itu merupakan langkah strategis yang bertujuan untuk menghentikan apa yang disebutnya sebagai pemberian penghargaan oleh pemerintah Palestina kepada para teroris dan pembunuh. Dengan langkah ini, Israel ingin memastikan bahwa dana yang diterimanya lebih memprioritaskan dukungan kepada korban serangan teror, yang menurut mereka, adalah langkah etis dalam situasi yang kompleks ini.

Berdasarkan laporan dari TV7 Israel News, Otoritas Palestina memang terus mengalami kesulitan akibat pemotongan dana yang dilakukan Israel. Sejak 2019, Israel telah melakukan pemotongan rutin terhadap dana yang seharusnya disalurkan kepada Palestina, dengan alasan penggunaan dana tersebut oleh Otoritas Palestina untuk memberikan tunjangan kepada para tahanan dan mantan tahanan Palestina. Pemotongan ini awalnya mencapai 600 juta shekel atau sekitar 168 juta dolar AS per tahun, namun jumlah ini meningkat menjadi sekitar 195 juta dolar AS setiap tahunnya. Akibatnya, Otoritas Palestina mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban gaji pegawai pemerintah, yang diungkapkan mencapai 65% dari total pemasukan negara.

Kondisi ini menciptakan ketegangan lebih lanjut antara kedua pihak. Sebagai entitas yang masih berada di bawah pendudukan, Palestina bergantung sepenuhnya pada Israel untuk perdagangan internasionalnya. Kebanyakan dari kegiatan impor dan ekspor mereka harus melewati titik-titik kontrol yang dikuasai oleh Israel, membuat situasi ekonomi Palestina semakin rentan.

Di samping itu, pemotongan berkala ini juga membuat pemerintah Palestina tidak dapat membayar gaji secara penuh sejak November 2021. Situasi ini tentu saja berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari pegawai pemerintah dan pendapatan keluarga yang bergantung pada gaji tersebut. Keterbatasan akses terhadap dana yang seharusnya disalurkan membuat berbagai sektor di Palestina, termasuk layanan publik, semakin tertekan.

Kritik terhadap langkah Israel ini tidak berhenti di situ. Banyak lembaga internasional dan institusi kemanusiaan menyerukan penyelesaian yang adil dan berkelanjutan untuk konflik ini, termasuk dukungan bagi rakyat Palestina yang semakin terpuruk dalam kondisi ekonomi. Pemotongan dana yang dilakukan secara sepihak oleh Israel telah menambah beban di tengah situasi yang sudah sulit bagi rakyat Palestina.

Tindakan yang diambil oleh Israel ini juga menimbulkan perdebatan lebih lanjut mengenai legitimasi dan moralitas dalam kebijakan yang diterapkannya terhadap Palestina. Sementara pemerintah Israel menilai tindakan itu sebagai respons terhadap terorisme, di sisi lain banyak pihak memandangnya sebagai pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Palestina.

Saat ini, konflik dan ketegangan antara Israel dan Palestina semakin memanas seiring dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dana pajak yang seharusnya membantu rakyat Palestina malah berpindah tangan dan menciptakan ketidakadilan bagi banyak warga. Kemanusiaan pun menjadi korban ketika kebijakan lebih berfokus pada kepentingan politik dan keamanan, mengabaikan betapa pentingnya stabilitas dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di wilayah tersebut.

Exit mobile version