Militer Israel mengumumkan pada Jumat bahwa mereka telah berhasil membunuh Osama Tabash, kepala intelijen militer Hamas di Gaza selatan. Keberhasilan ini terjadi dalam konteks serangan yang lebih besar yang mulai meningkat di wilayah tersebut, setelah Israel memperintahkan pasukan darat untuk memasuki Gaza lebih dalam. Langkah ini dianggap sebagai strategi untuk memaksa Hamas mengeluarkan sandera yang masih ditahan.
Menurut pernyataan resmi dari militer, Tabash juga merupakan kepala unit pemantauan dan penargetan Hamas, menjadikannya salah satu tokoh kunci di balik operasi kelompok tersebut. Meskipun tidak ada tanggapan langsung dari Hamas mengenai pembunuhan ini, situasi di lapangan menunjukkan adanya ketegangan yang meningkat antara dua pihak.
Sebelumnya, dalam sebuah serangan yang dikoordinasikan, beberapa anggota keluarga di Gaza menjadi korban, termasuk pasangan suami istri dan dua anak mereka, ketika ledakan terjadi di sebelah timur Kota Gaza. Insiden ini menambah daftar panjang korban yang jatuh akibat konflik yang berlangsung. Militer Israel belum memberikan komentar ihwal serangan tersebut, tetapi sudah melaporkan bahwa mereka telah mengambil kendali lebih besar atas wilayah di utara dan selatan Gaza.
Menteri Pertahanan Israel, Yoav Katz, menyatakan bahwa operasi militer di Gaza akan dilakukan dengan peningkatan intensitas hingga semua sandera yang ditahan oleh Hamas dibebaskan. “Semakin Hamas menolak untuk membebaskan mereka yang diculik, semakin banyak wilayah yang akan hilang dari Israel,” tegas Katz.
Perkembangan terbaru ini muncul di tengah konteks yang lebih luas terkait konflik yang telah mencapai tingkat eskalasi serius. Sejak operasi militer yang diluncurkan pada bulan Oktober, sekitar 600 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan yang dilakukan Israel setelah menghancurkan gencatan senjata pada awal bulan ini. Dalam situasi ini, puluhan ribu warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mencari tempat aman, memperdalam penderitaan di tengah kondisi kemanusiaan yang kritis.
Israel juga mengancam untuk menghentikan semua pasokan makanan, bahan bakar, dan bantuan kemanusiaan bagi dua juta warga Palestina di Gaza. Langkah ini dirancang sebagai tekanan kepada Hamas untuk membebaskan 59 sandera yang mereka miliki, di mana 24 di antaranya diyakini masih hidup.
Gencatan senjata yang sebelumnya disepakati pada bulan Januari adalah rencana tiga tahap yang bertujuan menghasilkan penghentian permusuhan jangka panjang. Meskipun Hamas telah mengembalikan beberapa sandera sebagai bagian dari kesepakatan, kegagalan untuk mencapai kesepakatan lebih lanjut menunjukkan adanya jalan panjang yang harus ditempuh untuk mencapai resolusi yang berkelanjutan.
Hamas sendiri telah menyatakan bahwa mereka hanya akan membebaskan sandera yang tersisa sebagai imbalan atas gencatan senjata yang langgeng. Mereka juga menekankan perlunya penarikan penuh Israel dari Gaza sebagai syarat dari kesepakatan yang dapat diterima.
Di tengah ketegangan ini, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menghadapi tantangan di dalam negeri terkait langkah-langkah keamanan yang diambil oleh pemerintahnya. Upaya untuk memecat kepala dinas keamanan dalam negeri, Ronen Bar, telah memicu protes, dengan warga Israel mengekspresikan dukungan mereka terhadap Bar di tengah perdebatan mengenai tanggung jawab atas serangan Hamas yang terjadi baru-baru ini.
Dengan semua dinamika ini, masa depan konflik di Gaza tampaknya semakin tidak pasti, meninggalkan banyak pihak yang mempertanyakan apakah eskalasi lebih lanjut dapat dihindari. Keangkuhan dari kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan damai menjadi tantangan yang akan membutuhkan waktu dan usaha yang besar untuk teratasi.