Israel telah melancarkan serangan udara ke Libanon dalam beberapa hari terakhir, menyusul serangan roket yang dilakukan dari wilayah Libanon ke Israel. Situasi ini merupakan eskalasi terkini dalam ketegangan yang sudah berlangsung lama di kawasan tersebut, dan dianggap sebagai yang terburuk sejak gencatan senjata yang terakhir kali berlaku pada November lalu.
Menurut pernyataan militer Israel, serangan tersebut ditujukan pada puluhan peluncur roket dan pusat komando milik Hizbullah, kelompok milisi yang didukung Iran, yang beroperasi di Lebanon selatan. Kementerian Kesehatan Libanon melaporkan bahwa enam orang, termasuk seorang anak, tewas akibat serangan udara ini. Dalam kelanjutan serangan, militer Israel juga menargetkan lokasi-lokasi lain yang diklaim sebagai infrastruktur Hizbullah serta fasilitas penyimpanan senjata.
Peristiwa serangan roket dari Libanon terjadi di tengah meningkatnya serangan Israel terhadap Hamas di Gaza, yang merupakan sekutu Hizbullah. Meskipun demikian, Hizbullah membantah terlibat dalam peluncuran roket tersebut dan menegaskan komitmennya terhadap gencatan senjata yang sedang berlangsung. Militer Libanon sendiri melaporkan telah menghancurkan tiga peluncur roket primitif di wilayah selatan negara tersebut dan telah memulai penyelidikan terhadap insiden ini.
Situasi ini semakin membahayakan gencatan senjata yang telah berhasil mempertahankan kedamaian sementara di kawasan itu. Gencatan senjata ini dimediasi oleh Amerika Serikat dan Prancis, bertujuan untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung lebih dari satu tahun antara Israel dan Hizbullah. Di dalam kesepakatan, militer Libanon diharuskan untuk mengerahkan pasukan tambahan ke wilayah selatan, guna mengawasi dan mencegah serangan terhadap Israel, sementara Hizbullah diharuskan menarik pejuang dan senjatanya.
Namun, Israel menegaskan bahwa mereka akan terus melancarkan serangan udara untuk mencegah Hizbullah kembali mempersenjatai diri. Saat ini, Israel masih menduduki sejumlah lokasi di Lebanon selatan, yang menurut pemerintah Libanon merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara dan kesepakatan yang telah ditandatangani. Militer Israel mengklaim bahwa keberadaan mereka diperlukan untuk keamanan komunitas perbatasan.
Ketegangan ini menjadi semakin kompleks dengan pernyataan pejabat tinggi Libanon. Presiden Libanon, Joseph Aoun, menekankan bahwa hanya negara yang memiliki hak untuk memiliki senjata di Libanon, yang dikaitkan dengan perlucutan senjata Hizbullah. Sementara itu, Perdana Menteri Libanon, Nawaf Salam, mengingatkan bahwa eskalasi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya perang baru.
Pasukan perdamaian PBB di Libanon (UNIFIL) juga mengungkapkan kekhawatiran tentang kemungkinan eskalasi kekerasan dan mendesak Israel serta Libanon untuk mematuhi komitmen mereka terhadap gencatan senjata. Situasi di lapangan menunjukkan bahwa Hizbullah mengalami tantangan berat setelah kehilangan banyak pemimpin dan persenjataan dalam konflik sebelumnya, yang juga menyebabkan dampak signifikan terhadap komunitas yang mereka dukung.
Sejak munculnya konflik yang lebih luas, termasuk serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, situasi di kawasan ini semakin memburuk. Serangan-penyerangan yang terjadi telah menewaskan ribuan orang di kedua belah pihak dan mengakibatkan banyak pengungsi, terutama dari komunitas di Israel utara.
Penanganan konflik ini menjadi prioritas bagi mitra internasional Libanon, yang menyatakan bahwa bantuan hanya akan disalurkan jika pemerintah Libanon bertindak untuk membatasi kekuatan Hizbullah. Konflik yang berlarut-larut ini menunjukkan tantangan kompleksitas geopolitik dan ancaman berkelanjutan bagi stabilitas di kawasan Timur Tengah.