Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maman Imanul Haq, menegaskan bahwa tidak ada ruang pengampunan untuk seorang guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswinya. Maman menuntut agar pelaku yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap 13 mahasiswi tersebut dipecat dari jabatannya dan dibawa ke ranah hukum untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.
“Tak ada ruang pengampunan untuk pelaku kejahatan seksual di ranah pendidikan. Perempuan, di mana saja, termasuk di lingkungan kampus, masih sering dianggap sebagai objek seksual. Ini yang harus kita cegah dan pastikan bahwa hal ini tidak akan terulang,” ungkap Maman saat memberikan keterangan kepada wartawan pada Rabu, 9 Maret 2025.
Dia melanjutkan, kampus seharusnya menjadi lembaga yang menjunjung tinggi perlindungan terhadap perempuan. Namun, kenyataannya, masih banyak kasus kekerasan di lingkungan kampus yang justru menargetkan perempuan. Maman menegaskan bahwa tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang pengajar, terutama di level guru besar, sangat disayangkan dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan serta pendidikan.
Kasus ini menjadi perhatian publik setelah laporan dari Fakultas Farmasi UGM pada Juli 2024. Setelah menerima laporan tersebut, pihak Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM mengambil tindakan tegas dengan memeriksa 13 saksi dan korban. Hasilnya, pelaku sudah diberhentikan dari jabatannya sebagai dosen dan juga dicopot dari posisi ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC).
Maman mengapresiasi langkah cepat dan tegas yang diambil oleh UGM dalam menangani kasus ini, tetapi dia juga menekankan perlunya penyelidikan lebih dalam dan tuntas. “UGM harus mengusut tuntas kasus ini dan tidak berhenti pada pencopotan jabatan pelaku saja,” ujarnya. Dia menambahkan bahwa setiap orang, termasuk institusi seperti kampus, memiliki tanggung jawab untuk melaporkan kekerasan seksual, karena kasus ini adalah delik biasa yang dapat diproses secara hukum tanpa harus ada pengaduan formal.
“Jika ada laporan, ini bisa menjadi efek jera agar tidak terulang kasus kekerasan terhadap perempuan di mana saja, termasuk di lingkungan kampus,” tambahnya. Maman juga menyoroti pentingnya keberadaan Satgas PPKS di berbagai kampus sebagai upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.
Namun, dia menekankan bahwa upaya perlindungan perempuan harus dilakukan secara berkelanjutan dan intensif. “Penting untuk memberikan rasa aman dan jaminan perlindungan kepada perempuan dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus,” jelasnya.
Isu mengenai kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi semakin mendesak untuk diperhatikan, terutama ketika pelakunya adalah pihak yang seharusnya melindungi dan mendidik mahasiswa. Kasus di UGM ini mengingatkan kita pada serangkaian isu yang lebih luas mengenai perlindungan perempuan dan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka di kampus. Berita tentang kekerasan seksual di institusi pendidikan bukanlah hal baru, tetapi dengan setiap kasus yang terungkap, diharapkan akan ada perubahan yang signifikan dalam cara penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus di seluruh Indonesia.