Tragedi Gaza: Ibu Hamil dan Bayinya Tewas dalam Serangan Udara

Serangan udara yang dilancarkan oleh Israel pada Selasa pagi telah merenggut nyawa Afnan al-Ghanam, seorang ibu hamil tujuh bulan, bersama putranya yang masih kecil, Mohammed. Kedua korban tewas dalam insiden tersebut terjadi di tenda yang mereka huni di kamp pengungsian Muwasi, dekat Khan Younis, Jalur Gaza. Kematian Afnan dan Mohammed meningkatkan jumlah korban tewas di Jalur Gaza menjadi lebih dari 400 jiwa, yang sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, menurut data dari Kementerian Kesehatan setempat.

Dalam wawancara yang dilakukan dengan suami Afnan, Alaa Abu Helal, ia menyatakan rasa duka yang mendalam atas kehilangan mendadak istrinya dan anaknya. “Ia lahir selama perang dalam kondisi sulit dan juga menjadi martir dalam perang,” ungkapnya sembari menggenggam tubuh kecil Mohammed yang dibungkus kain di kamar mayat Rumah Sakit Nasser. Ia juga menekankan bahwa serangan ini adalah tindakan yang tidak membedakan antara pelaku dan korban sipil. “Target mereka adalah orang-orang tak berdosa, murni. Mereka hampir tidak pernah melihat kehidupan,” tambah Abu Helal dengan penuh kesedihan.

Serangan tersebut menghancurkan gencatan senjata yang selama ini diharapkan memberikan sedikit ketenangan bagi warga Gaza setelah 15 bulan konflik yang berlarut-larut. Sebelumnya, Gaza telah mengalami periode krisis yang diperparah oleh pemboman, serangan darat, dan kelaparan. Gencatan senjata yang mulai berlaku pada pertengahan Januari memberikan harapan bagi warga untuk mulai merebuilding hidup mereka, namun harapan itu sirna seketika akibat serangan terbaru ini.

Pemerintah Israel mengklaim bahwa mereka menargetkan posisi-posisi Hamas sebagai respons terhadap serangan yang diluncurkan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu, yang menurut mereka berupaya untuk memaksa kelompok tersebut membebaskan sandera dan menyerahkan kendali atas wilayah Gaza. Walaupun Israel menegaskan bahwa tidak ada sasaran sipil dalam operasi militer mereka, kenyataannya banyak warga sipil yang menjadi korban.

Menurut laporan resmi, insiden yang menewaskan Afnan dan anaknya terjadi saat sebagian besar penduduk Gaza masih syok pasca serangan yang menghancurkan banyak infrastruktur kota. Al-Ghanam bersama putranya sebelumnya telah melarikan diri ke kamp pengungsian menyusul evakuasi massal yang diperintahkan Israel di Rafah, tempat tinggal mereka sebelumnya. “Anda melarikan diri selama perang untuk menjaga keluarga dan anak-anak Anda tetap aman. Namun, di sini, dia sudah meninggal,” ungkap Alaa yang bingung dan kehilangan arah setelah tragedi tersebut.

Krisis kemanusiaan di Gaza semakin memburuk dengan masuknya fase pertama kelaparan, dimana hampir dua juta penduduk kehilangan akses terhadap pangan yang layak. Ismail Thawabteh, Kepala Kantor Media Pemerintah Gaza, mengungkapkan bahwa pasar-pasar di Gaza sudah kehabisan makanan pokok, meninggalkan warganya dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Kondisi ini diakibatkan oleh penutupan perbatasan oleh Israel dan penghambatan masuknya bantuan kemanusiaan.

Kejadian tragis ini menyoroti kompleksitas situasi di Gaza, di mana konflik berkepanjangan membawa dampak besar terhadap kehidupan warga sipil. Banyak keluarga yang terpaksa berjuang untuk bertahan hidup di tengah kekacauan, dan kehilangan anggota keluarga dalam situasi seperti yang dialami oleh Afnan dan Mohammed adalah salah satu dari banyak cerita pilu yang terjadi di wilayah tersebut. Seiring dengan semakin memburuknya kondisi kemanusiaan, suara-suara dari dalam Gaza semakin mendesak untuk perhatian dunia yang lebih besar serta solusi yang berkelanjutan bagi konflik yang tak kunjung usai ini.

Exit mobile version