Minggu malam di Blok M, Jakarta Selatan, menghadirkan atmosfer yang unik dan berbeda. Penutupan akhir pekan tidak lagi ramai seperti biasa, dengan banyaknya kendaraan serta kerumunan orang. Suasana menjadi lebih hening setelah hujan yang baru reda. Saat saya tiba di area tersebut, kursi-kursi di kios sate Taichan dan Gultik terlihat hanya diisi oleh beberapa orang. Namun, langkah saya menuju Row 9, sebuah gedung berlantai enam yang menjadi pusat skena musik, membawa harapan baru bagi saya dan para pecinta musik indie.
Krapela, sebuah bar berkonsep open-modular yang terletak di lantai lima gedung tersebut, menjadi saksi kembali bangkitnya hiburan malam di Blok M. Malam itu, Krapela menggelar acara musik Door Opener Vol. 3 yang menarik perhatian anak muda. Mereka datang untuk menikmati penampilan sejumlah band, salah satunya adalah The Cottons, duo power-pop asal Jakarta Timur yang kini mencuri perhatian di industri musik independen.
The Cottons, yang terdiri dari pasangan suami-istri Yehezkiel Tambun dan Kaneko Pardede, telah merilis EP berjudul "Harapan" yang menjadi penanda kembalinya semangat musik indie di Jakarta. Kehadiran mereka di panggung Krapela terasa seperti mesin waktu yang membawa nostalgia dari kejayaan musik independen di Indonesia dua dekade lalu. Bagi saya, penampilan mereka mengingatkan kembali pada masa-masa ketika saya terpesona oleh band seperti The Upstairs, yang memberikan nuansa musikalitas yang kental dan lirik yang bermakna.
Dalam penampilannya, The Cottons dibantu oleh empat additional player yang membuat pertunjukan mereka semakin maksimal. Malam itu, mereka membawakan beberapa lagu dari EP "Harapan" yang mencerminkan perjalanan emosional dan tema yang relevan dengan pengalaman Generasi Z dan Millennials saat ini. Musik mereka, yang lekat dengan lirik puitis dan melodi catchy, berhasil menyentuh hati para penonton, yang tampak terbuai dengan alunan suara lembut Kaneko dan gitar elektrik Keko.
Berikut adalah beberapa penampilan yang mencuri perhatian selama konser:
- "It’s Only A Day" – Lagu pembuka yang penuh energi, membawa kembali kenangan akan sound power-pop yang populer di akhir era 80-an.
- "Ashes of Hope" – Memadukan vokal sendu dan melankolis dengan aransemen progresif yang menawan, menjadikan lagu ini sorotan malam itu.
- "Harapan Pt. 1" dan "Pt. 2" – Dua bagian dari trilogi yang membahas harapan dalam kehidupan, penuh dengan transisi musik yang halus dan lirik yang menggugah.
- Penutup dengan "Harapan Pt. 3" – Mengakhiri set dengan semangat optimis dan membawa energi positif, berhasil menggugah sudut paling emosional dari penonton.
Penonton, yang mayoritas merupakan anak muda, terlihat terlibat secara aktif dalam penampilan tersebut. Mereka bernyanyi bersama, teriak, dan bahkan melakukan moshing, menandakan kegembiraan yang meluap-luap. Momen tersebut seolah menegaskan kembali bahwa Blok M, meski sempat sepi, tetap memiliki jiwa yang kuat sebagai tempat berkumpul dan berekspresi bagi generasi muda.
Musik The Cottons selain menjadi medium harapan, juga mengeksplorasi isu-isu yang relevan di era kontemporer. Melalui liriknya yang sederhana namun penuh makna, mereka berhasil menyentuh emosi dan menggugah kenangan akan masa lalu, sembari menawarkan harapan baru bagi pendengar. Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang tidak menentu di Indonesia saat ini, mereka menghadirkan secercah harapan melalui musik, sebuah panasea di tengah ketidakpastian.
Banyak yang menyebut bahwa satu-satunya harapan yang tersisa di negeri ini mungkin hanya mini album "Harapan" dari The Cottons. Penampilan mereka bukan hanya sekadar hiburan, tetapi sebuah pernyataan bahwa musik independen di Indonesia masih hidup dan mampu membangkitkan kembali semangat kebersamaan dan nostalgia akan kejayaan Blok M. Suatu sore yang hening bisa menjadi panggung bagi palet emosi, dan The Cottons jelas mengambil tempat di hati para penggemar mereka.