Standar Baru Asuransi Kesehatan: Solusi Redam Inflasi Medis

Asuransi kesehatan menjadi salah satu sektor yang terus menghadapi tantangan seiring dengan meningkatnya biaya perawatan medis. Dalam konteks ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan Rancangan Surat Edaran OJK (RSEOJK) yang diharapkan dapat meredam laju inflasi medis yang semakin meningkat. Inflasi medis di Indonesia diproyeksikan mencapai 19% pada 2025, meningkat dari 17,9% pada 2024, berdasarkan laporan dari Mercer Marsh Benefit.

Kenaikan klaim kesehatan asuransi jiwa pada tahun 2024 tercatat mencapai 16,4% year on year (YoY) menjadi Rp24,18 triliun, meski angka ini lebih terkendali dibandingkan kenaikan 24,6% pada tahun sebelumnya. Sementara itu, pendapatan premi asuransi kesehatan mengalami peningkatan signifikan, mencapai Rp19,84 triliun atau tumbuh 25,3% dibandingkan tahun 2023. Rasio klaim kesehatan asuransi jiwa hingga akhir 2024 berada di level 121,8%.

Di sektor asuransi umum, klaim kesehatan juga mengalami pertumbuhan, yakni 8,1% YoY menjadi Rp6,88 triliun, dengan premi kesehatan tercatat sebesar Rp11,82 triliun yang meningkat 77,2% YoY. Meskipun rasio klaim kesehatan asuransi umum terkontrol di level 58,2%, tantangan inflasi medis tetap menjadi perhatian utama bagi industri ini.

Dalam upaya menanggulangi dampak inflasi medis, OJK akan menetapkan ketentuan co-payment untuk produk asuransi kesehatan. Implemetasi co-payment, di mana pemegang polis atau peserta akan menanggung minimal 10% dari total klaim, diharapkan dapat mengurangi pengeluaran asuransi serta mendorong penggunaan layanan kesehatan secara lebih bijak. “Dengan adanya co-payment, diharapkan terjadi pengurangan over-utilization layanan medis yang tidak perlu, yang pada gilirannya dapat menekan laju inflasi medis,” ujar Djonieri, Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perasuransian OJK.

Selain itu, RSEOJK juga akan mengatur syarat kompetensi sumber daya manusia (SDM) di perusahaan asuransi. Perusahaan diharuskan memiliki dokter sebagai tenaga medis yang berperan dalam analisis tindakan medis dan utilitas, serta membentuk Medical Advisory Board (MAB) untuk memberikan masukan terkait layanan kesehatan. Djonieri menekankan pentingnya kesiapan SDM dan sistem informasi yang memadai di perusahaan asuransi. Sistem informasi ini diharapkan dapat mendeteksi kemungkinan tindakan penipuan serta menganalisis kesesuaian layanan medis yang diberikan.

Ketua Bidang Produk, Manajemen Risiko, GCG AAJI, Fauzi Arfan, menyampaikan dukungannya terhadap langkah OJK dalam meningkatkan standar industri asuransi kesehatan. Menurutnya, penting untuk memperhatikan fase transisi dan kesiapan sumber daya agar implementasi aturan bisa berjalan efektif. Sementara itu, PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia menyambut baik langkah OJK dan sedang mempelajari serta berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk memastikan kesiapan menghadapi perubahan tersebut.

Sektor asuransi kesehatan juga semakin memanfaatkan teknologi dalam pengelolaan risiko. Generali Indonesia, misalnya, telah menerapkan kecerdasan buatan (AI) dalam proses klaim untuk meminimalisir potensi fraud. Sementara, PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia (ACPI) telah mempersiapkan tim kesehatan dan berkolaborasi dengan organisasi profesi untuk membentuk MAB.

Di sisi lain, praktisi manajemen risiko, Wahyudin Rahman, menunjukkan bahwa beberapa perusahaan asuransi sudah siap untuk menerapkan MAB, meskipun masih perlu peningkatan bagi perusahaan yang belum memiliki kualifikasi tersebut. Ia juga menekankan pentingnya investasi dalam teknologi untuk mendeteksi fraud, namun hal itu membutuhkan waktu dan sumber daya yang cukup.

Dari berbagai respons yang ada, terlihat bahwa langkah OJK dalam merumuskan kebijakan baru ini sejalan dengan kebutuhan mendesak untuk mengendalikan inflasi medis dan meningkatkan kualitas asuransi kesehatan di Indonesia. Melalui ketentuan baru yang akan diratifikasi, diharapkan industri asuransi mampu mengelola risiko dengan lebih efektif, sekaligus memberikan perlindungan yang lebih baik bagi masyarakat. Keberhasilan implementasi regulasi ini juga akan sangat bergantung pada kolaborasi yang erat antara regulator dan pelaku industri untuk menciptakan ekosistem asuransi kesehatan yang lebih berkelanjutan.

Back to top button