Paris AI Action Summit yang dihelat pada 6—11 Februari 2023 baru-baru ini menghasilkan kesepakatan yang mencolok meskipun tidak bulat. Lima puluh delapan negara, termasuk Indonesia, China, Prancis, India, dan Uni Eropa, sepakat untuk menjunjung tinggi prinsip bahwa kecerdasan buatan (AI) harus dibangun di atas landasan keterbukaan, inklusivitas, dan etika. Namun, ketidakhadiran Amerika Serikat (AS) dan Inggris dalam kesepakatan ini menunjukkan perbedaan pendekatan yang signifikan, di mana kedua negara lebih memilih regulasi AI yang fleksibel demi mempercepat inovasi dan pertumbuhan ekonomi.
Para penandatangan kesepakatan menekankan pentingnya peningkatan tata kelola AI melalui dialog global. Mereka berharap langkah ini akan memfasilitasi aksesibilitas teknologi, menerapkan regulasi keselamatan yang ketat, serta mencegah terjadinya konsentrasi pasar. Di sisi lain, AS dan Inggris memandang bahwa pemangkasan regulasi bisa membantu perusahaan-perusahaan teknologi berkembang pesat. Pendekatan ini tampaknya bertujuan untuk menjaga agar kedua negara tetap kompetitif di panggung global yang semakin diperebutkan.
Kompleksitas geopolitik yang mengelilingi AI juga semakin terlihat. Dalam beberapa waktu terakhir, berita tentang peluncuran produk seperti DeepSeek-R1, yang dikembangkan oleh perusahaan rintisan asal China, mencuat. Produk ini diklaim sebagai pesaing utama AI dengan performa lebih efisien dan harga yang lebih terjangkau dibandingkan ChatGPT. Ini semua menambah catatan mengenai betapa sengitnya persaingan di dunia AI.
Di tengah perkembangan ini, Presiden Donald Trump juga mengumumkan Project Stargate, sebuah inisiatif infrastruktur AI senilai US$500 miliar dengan akun OpenAI, Oracle, dan SoftBank sebagai tulang punggungnya. Dengan semua dinamika ini, keyakinan bahwa AI akan mengulangi kesuksesan revolusi listrik dan mesin cetak semakin menguat. Sejarah mencatat, dua teknologi tersebut telah merubah wajah ekonomi dunia dan kehidupan manusia secara dramatis.
Prediksi menunjukkan bahwa pada tahun 2030, ekonomi AI di Indonesia dapat memberikan kontribusi sebesar 12% terhadap pertumbuhan PDB, setara dengan US$366 miliar. Untuk China dan AS, prediksi nilai ekonomi AI masing-masing mencapai US$15 triliun. Semua negara kini bersaing untuk menentukan kebijakan yang tepat agar dapat memanfaatkan potensi AI seoptimal mungkin.
Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk mempertimbangkan semangat penghiliran sebagai fondasi kebijakan AI-nya. Upaya ini bertujuan untuk memastikan kendali penuh atas data dan teknologi AI yang digunakan, sekaligus meningkatkan keamanan serta kedaulatan data. Dengan pendekatan ini, daya saing AI dan ekonomi Indonesia diharapkan dapat diperkuat, menjadikan negara kita bukan sekadar konsumen tetapi juga pemain penting dalam percaturan AI global.
Satu langkah konkret yang bisa diambil adalah pengembangan dan pemanfaatan model AI yang berbasis pada bahasa Indonesia dan budaya lokal. Misalnya, inisiatif oleh Indosat yang bekerja sama dengan NVIDIA untuk meluncurkan Sahabat-AI, sebuah platform model bahasa besar (LLM) open-source. Langkah ini bertujuan agar produk AI relevan dengan konteks dan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Apabila model-model lokal ini berhasil, mereka tidak hanya dapat memberikan manfaat di industri dalam negeri, tetapi juga memiliki potensi untuk diekspor ke pasar internasional. Hal ini bisa menjadi sumber devisa baru bagi negara. Namun, pemerintah perlu memastikan pengelolaan data strategis dan milik publik dilakukan secara lokal, sesuai dengan PP No. 71/2019.
Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia telah menunjukkan potensi signifikan dalam bidang AI, termasuk menyelesaikan metodologi penilaian kesiapan AI UNESCO (RAM). Berkat kebijakan sovereign AI, Indonesia juga dapat menarik lebih banyak investasi dalam sektor AI.
Semangat penghiliran AI ini sejalan dengan filosofi bahwa kita tidak hanya akan mengekspor bahan mentah, tetapi juga memproduksi di dalam negeri kemudian mengekspor produk dengan nilai tambah. Pendekatan ini seharusnya juga diadaptasi dalam pemanfaatan AI. Kini saatnya bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya dalam perjalanan menuju era digital, dengan memanfaatkan dan mengembangkan keahlian dalam teknologi AI yang unggul.