Nissan Terancam Rugi Rp88 Triliun Setelah Gagal Merger dengan Honda

Raksasa otomotif asal Jepang, Nissan, menghadapi tantangan finansial yang besar dengan prediksi kerugian mencapai 750 miliar yen atau sekitar Rp88 triliun untuk tahun keuangan 2024-2025. Situasi ini muncul di tengah berbagai isu yang melanda perusahaan, termasuk utang yang membengkak, kesulitan dalam bersaing di pasar China, dan dampak kebijakan tarif yang diterapkan oleh bekas Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Kepala Eksekutif Nissan, Ivan Espinosa, menjelaskan langkah-langkah yang diambil perusahaan untuk merevisi proyeksi finansial tahunan mereka. “Kami mengambil langkah yang bijaksana untuk merevisi prospek setahun penuh kami, yang mencerminkan tinjauan menyeluruh atas kinerja kami dan nilai tercatat aset produksi,” ujarnya dalam pernyataan resmi, yang dilansir dari AFP pada Jumat, 25 April 2025. Ia menambahkan bahwa kini perusahaan memprediksi kerugian bersih yang signifikan, di mana tidak hanya disebabkan oleh penurunan nilai aset, tetapi juga biaya restrukturisasi yang tinggi.

Pada sebelumnya, Nissan memperkirakan kerugian bersih tahunan yang jauh lebih kecil, yaitu sebesar 80 miliar yen, pada bulan Februari 2025. Namun, dengan kondisi yang terus memburuk, mereka kini harus mengantisipasi kerugian yang jauh lebih besar. Pihak Nissan dijadwalkan akan mengumumkan pendapatan tahunan mereka pada Mei 2025, setelah tahun keuangan berakhir pada 31 Maret 2025.

Nissan telah mengalami serangkaian krisis dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai faktor, mulai dari penangkapan mantan bosnya, Carlos Ghosn, hingga dampak pandemi Covid-19 dan perang Ukraina, turut memperburuk kinerja perusahaan. Pada tahun lalu, sebagai respons terhadap penurunan laba bersih yang mencapai 93 persen, Nissan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 9.000 karyawan di seluruh dunia.

Salah satu faktor lain yang menyebabkan Nissan terpuruk adalah kegagalan untuk melakukan merger dengan pesaingnya, Honda. Pembicaraan kedua perusahaan tersebut berakhir tanpa hasil pada Februari 2025. Rencana merger yang awalnya bertujuan untuk mengintegrasikan kedua perusahaan di bawah perusahaan induk baru dipatahkan ketika Honda mengusulkan untuk menjadikan Nissan sebagai anak perusahaan. Proposal ini tidak diterima oleh Nissan, yang sedang berjuang untuk memperbaiki posisinya di pasar global.

Nissan, yang merupakan salah satu dari sepuluh produsen mobil teratas berdasarkan penjualan unit, kini menghadapi masa depan yang tidak pasti. Perusahaan berusaha keras untuk meningkatkan daya saing dan mengatasi masalah internal yang ada, seperti restrukturisasi biaya dan pengelolaan utang yang semakin besar.

Dalam kondisi pasar yang tidak menentu, Nissan harus menggencarkan upaya efisiensi dan inovasi produk agar dapat bersaing lebih baik, terutama di pasar-pasar besar seperti China. Tak hanya menghadapi favorit lokal, Nissan juga harus bersiap menghadapi pesaing global yang kian agresif dalam mengembangkan teknologi mobil listrik dan otonom.

Nissan, seperti banyak perusahaan otomotif lainnya, kini dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan yang cepat dalam industri otomotif. Tantangan ini datang bersamaan dengan kebutuhan untuk beralih ke model bisnis yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Dengan latar belakang tersebut, Nissan bergulat dengan sejumlah tantangan besar yang akan menentukan keberlangsungan bisnisnya di masa depan. Keputusan-keputusan strategis yang diambil dalam waktu dekat akan sangat krusial bagi perusahaan untuk berada di jalur pemulihan dan kembali meraih kepercayaan pasar.

Exit mobile version