
Anggota Komisi XI DPR RI mengungkapkan keprihatinan terkait masih tingginya aduan masyarakat mengenai pinjaman online (pinjol) atau fintech P2P lending. Hal ini menunjukkan bahwa upaya edukasi yang dilakukan oleh sektor industri dan pemerintah belum sepenuhnya efektif. Di dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR, terungkap bahwa pengaduan masyarakat mencakup berbagai isu terkait dengan perilaku pasar (market conduct) para penyelenggara pinjol, yang dinilai cukup mengganggu.
Fathi, salah satu anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Demokrat, menyatakan bahwa posisi fintech P2P lending sebenarnya sangat strategis, terutama bagi masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang belum terjangkau oleh layanan bank. Menurutnya, meskipun fintech seharusnya menjadi solusi, kenyataannya masih banyak masalah yang perlu diatasi. “Kita lihat bahwa terkait pengaduan paling besar dari fintech. Agar ke depan tidak terjadi lagi aduan masyarakat, perlu ada pemahaman yang benar-benar jujur dan transparan dari asosiasi,” ujarnya.
Ahmad Rizki Sadig, anggota Komisi XI dari Fraksi PAN, juga menyatakan bahwa literasi keuangan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Ia menegaskan bahwa masyarakat di lapisan bawah cenderung lebih mengenal praktik rentenir daripada layanan fintech P2P lending. “Kita harapkan bagaimana meningkatkan pemahaman masyarakat kita, khususnya yang lebih kenal bank titil dibandingkan fintech,” tambah Rizki.
Kritik yang sama juga diungkapkan oleh Galih Dimuntur Kartasasmita dari Fraksi Partai Golkar. Ia berpendapat bahwa program literasi dan edukasi yang ada selama ini cenderung salah sasaran. “Target asosiasi lebih ke kalangan menengah ke atas, padahal yang membutuhkan edukasi adalah menengah ke bawah,” ujarnya. Saran tersebut menunjukkan bahwa perluasan sasaran edukasi penting agar program dapat menjangkau mereka yang paling membutuhkan.
Di sisi lain, Ronald Yusuf Wijaya, Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), menambahkan bahwa program edukasi mengenai P2P lending menghadapi tantangan besar dengan maraknya pinjaman online ilegal. “Data unit Satgas PASTI menunjukkan terdapat 8.500 pinjol ilegal yang ditutup, sementara yang legal hanya 97. Ini menunjukkan mengapa masyarakat lebih mengetahui pinjol ilegal dibandingkan pinjaman yang legal,” ujarnya.
Menariknya, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejak awal tahun 2025 hingga pertengahan Februari, OJK telah menerima 55.780 permintaan layanan melalui Aplikasi Portal Pelindungan Konsumen (APPK) yang mencakup 4.472 pengaduan. Dari pengaduan tersebut, sebanyak 1.643 di antaranya berasal dari industri fintech. Selain itu, OJK juga mencatat 780 pengaduan terkait entitas ilegal, di mana 676 di antaranya berkaitan dengan pinjaman online ilegal. Data ini menegaskan betapa mendesaknya upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai layanan keuangan yang legal dan aman.
Sebagai respons terhadap tingginya pengaduan masyarakat, evaluasi mendalam terhadap program-program edukasi dan literasi keuangan yang ada saat ini menjadi sangat penting. Semua pihak yang terlibat, baik dari pemerintah, industri fintech, maupun masyarakat, perlu bersinergi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap risiko dan manfaat menggunakan layanan pinjaman online. Keberadaan lembaga yang melakukan pengawasan juga menjadi kunci untuk memastikan bahwa masyarakat hanya berinteraksi dengan layanan yang terpercaya dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.