Maqdir Ismail: Terdakwa dan Saksi Mahkota Tak Perlu Akui Salah dalam RKUHAP

Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Maqdir Ismail, baru-baru ini mengungkapkan pendapatnya tentang Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang sedang dibahas. Ia menekankan bahwa terdakwa dan saksi mahkota tidak seharusnya dipaksa untuk mengakui kesalahan dalam proses persidangan. Menurutnya, pengakuan seperti itu dapat berpotensi merugikan keadilan.

Dalam paparannya, Maqdir menjelaskan bahwa selama ini hakim sering kali menyebutkan faktor memberatkan dan meringankan dalam keputusan mereka. Salah satu alasan yang sering digunakan untuk memberikan keringanan adalah jika terdakwa mengakui kesalahannya. “Ini sesuatu yang semestinya tidak perlu terjadi,” kata Maqdir dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, pada Jumat (2/5/2025). Ia menilai jika bukti permulaan sudah cukup kuat dan sesuai dengan pasal yang didakwakan, tidak seharusnya ada paksaan untuk terdakwa dalam mengakui kesalahannya.

Maqdir menambahkan bahwa RKUHAP seharusnya tidak memberikan otoritas kepada penyidik, jaksa, dan hakim untuk menuntut pengakuan dari seseorang. Hal ini, menurutnya, tidak hanya berpotensi menciptakan kejanggalan dalam proses hukum, tetapi juga berisiko menimbulkan kesalahan dalam penegakan hukum.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Maqdir terkait dengan saksi mahkota. Ia menegaskan bahwa seseorang tidak seharusnya harus menjadi saksi mahkota untuk memberikan kesaksian yang benar. “Ini adalah poin krusial yang harus kita perhatikan,” kata Maqdir. Ia khawatir, jika saksi mahkota dipaksa memberikan pengakuan, maka bisa jadi ia mengaku melakukan kejahatan yang sebenarnya tidak dilakukannya.

Dalam konteks ini, Maqdir menggarisbawahi bahwa pengakuan yang dihasilkan dalam tekanan bisa mengakibatkan keputusan hukum yang tidak adil. “Saya khawatir saksi mahkota mengakui kejahatan hanya untuk memberikan keuntungan bagi terdakwa. Ini berbahaya karena keadilan seharusnya berdasarkan fakta yang ada, bukan pengakuan yang dipaksakan,” tuturnya.

Seruan Maqdir ini muncul pada saat Komisi III DPR RI sedang membahas RKUHAP, di mana revisi ini dirancang untuk menggantikan undang-undang yang sudah ada selama 44 tahun. Menurut informasi terbaru, usulan ini menjadi penting untuk memperkuat hak-hak individu yang tersangkut dalam proses hukum, dan diharapkan mampu menyesuaikan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru mulai berlaku pada 1 Januari 2026.

Senada dengan pernyataan Maqdir, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI), Juniver Girsang, juga menekankan pentingnya hak imunitas bagi advokat dalam menjalankan tugasnya. Dia mengapresiasi Komisi III DPR RI yang setuju untuk memberikan hak imunitas itu, yang bakal memberikan rasa aman bagi advokat dalam menjalankan profesinya.

Revisi RKUHAP, serta hak imunitas bagi advokat, menjadi penting di tengah kebutuhan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih baik dan transparan di Indonesia. Masyarakat diharapkan lebih aktif terlibat dalam proses pembahasan ini, sehingga suara publik dapat tercermin dalam regulasi yang akan ditetapkan.

Diharapkan, melalui revisi ini, proses hukum di Indonesia bisa lebih berpihak pada keadilan, bukan hanya kepada mekanisme yang sering kali memaksa pengakuan yang tidak konsisten dari para terdakwa maupun saksi. Dengan demikian, penegakan hukum tidak hanya akan lebih efektif, tetapi juga lebih manusiawi.

Exit mobile version