Sejak jatuhnya pemerintahan Bashar al-Assad pada Desember 2024, sebanyak 270.000 pengungsi Suriah telah kembali ke tanah air mereka. Meningkatnya jumlah pengungsi yang pulang ini menandakan adanya perubahan signifikan dalam pola migrasi, di mana lebih dari seperempat dari mereka yang masih berada di luar negeri menunjukkan keinginan untuk kembali dalam beberapa bulan ke depan. Pernyataan ini disampaikan oleh Aseer Madaien, wakil perwakilan misi Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) di Suriah.
Dari data yang dihimpun, tampak bahwa tren kepulangan semakin meningkat. Perubahan ini terjadi seiring dengan transisi politik di Suriah, yang dilihat sebagai langkah awal menuju perbaikan keadaan. Jumlah pengungsi yang menyatakan kesediaan untuk kembali pada survei regional UNHCR meningkat drastis dari 1 persen pada tahun lalu menjadi 27 persen dalam survei terbaru. “Peningkatan ini sangat signifikan dan menunjukkan meningkatnya kepercayaan warga Suriah untuk pulang,” ungkap Madaien.
Namun, meskipun terdapat lonjakan dalam kepulangan, banyak pengungsi masih mempertimbangkan kembali ke Suriah karena tantangan yang ada. Hambatan utama yang dihadapi adalah krisis perumahan, memburuknya layanan publik, dan berkurangnya kesempatan kerja. Banyak dari mereka yang kembali tidak memiliki rumah untuk ditinggali, dan ada sejumlah pengungsi internal yang ditemui dalam keadaan tidak memiliki tempat tinggal setelah periode pengungsian.
Dalam konteks ini, lembaga kemanusiaan mengalami kesulitan dalam menyediakan kebutuhan yang diperlukan untuk para pengungsi yang kembali. Madaien menekankan pentingnya dukungan yang berkelanjutan, “Krisis pendanaan adalah tantangan besar. Memastikan bahwa pengungsi yang kembali mendapatkan kondisi hidup yang layak adalah hal yang sangat penting.” Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada keinginan untuk pulang, tanpa dukungan yang memadai, kondisi di dalam negeri belum sepenuhnya memungkinkan untuk pemulangan yang aman.
Lebih dari 13 juta warga Suriah terpaksa mengungsi akibat konflik yang berkepanjangan selama lebih dari sepuluh tahun. Dari populasi yang sangat besar ini, pemulangan yang aman dan berkelanjutan menjadi penting. Para pejabat UNHCR menegaskan bahwa untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan investasi jangka panjang dalam infrastruktur, pemulihan ekonomi, dan perlindungan hukum bagi pengungsi yang kembali.
Penutupan kamp-kamp pengungsi juga sangat bergantung pada kondisi yang membaik di dalam negeri. Saat ini, belum ada negara tetangga yang mendorong pemulangan pengungsi secara besar-besaran, mereka cenderung merasa bahwa proses harus dilakukan secara bertahap. “Saat ini, banyak warga Suriah kembali tanpa memiliki rumah untuk ditinggali,” imbuh Madaien, menggarisbawahi kesulitan yang dihadapi oleh banyak pengungsi pada saat mereka mencoba memulai kembali kehidupan di Suriah.
Dalam konteks yang lebih luas, saat keinginan untuk pulang mulai tumbuh, tantangan yang harus dihadapi adalah perumahan yang layak dan dukungan untuk membangun kembali kehidupan. Untuk itu, pemerintahan interim dan masyarakat internasional perlu berkolaborasi lebih erat dalam merencanakan strategi pemulihan yang inklusif bagi pengungsi yang pulang, yang tidak hanya menekankan pada pengembalian fisik, tetapi juga peningkatan kualitas hidup serta kesempatan bagi mereka untuk membangun kembali masa depan di tanah air mereka.