Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, John Roberts, baru-baru ini mengeluarkan pernyataan langka yang menanggapi seruan Presiden Donald Trump untuk memakzulkan seorang hakim dalam konteks perdebatan mengenai kebijakan deportasi migran. Dalam pernyataan tersebut, Roberts menegaskan bahwa pemakzulan bukanlah respons yang tepat terhadap perbedaan pendapat mengenai keputusan yudisial.
“Selama lebih dari dua abad, ditetapkan bahwa pemakzulan bukanlah respons yang tepat terhadap perbedaan pendapat mengenai keputusan yudisial,” ujar Roberts. Ia menekankan pentingnya mengikuti “proses banding yang normal” untuk menangani ketidaksepakatan hukum.
Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap serangan Trump terhadap Hakim Distrik AS James Boasberg, yang baru-baru ini mengeluarkan keputusan yang memerintahkan pemerintah Trump menghentikan deportasi lebih dari 200 warga Venezuela yang dicap sebagai anggota geng. Dalam postingan di Truth Social, Trump menyebut Boasberg sebagai “pengacau dan provokator,” bahkan menyerukan pemakzulannya dengan menekankan bahwa keputusan tersebut tidak memuaskan harapannya.
Sebagai ketua, Roberts jarang mengeluarkan pernyataan publik mengenai isu politik, dan hal ini semakin menarik perhatian di tengah meningkatnya ketegangan antara Trump dan beberapa hakim federal. Trump telah mengisyaratkan ketidakpuasan atas sejumlah keputusan hakim yang dianggapnya menghalangi kebijakan pemerintahannya.
Proses pemakzulan seorang hakim federal di AS memerlukan dua langkah penting: pemungutan suara resmi di Dewan Perwakilan Rakyat tentang pasal-pasal pemakzulan dan persetujuan dua pertiga anggota Senat untuk menyatakan hakim tersebut bersalah. Sejak berdirinya negara ini, Senat AS telah mempertimbangkan pemakzulan terhadap 15 hakim, termasuk satu Hakim Mahkamah Agung. Dari jumlah tersebut, delapan di antaranya dinyatakan bersalah.
Reaksi Trump terhadap keputusan Hakim Boasberg tampaknya merupakan bagian dari pola yang lebih luas, di mana ia menyerang para hakim yang memutuskan melawan kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Ini bukan kali pertama Presiden Trump mengekspresikan ketidaksenangannya terhadap keputusan-keputusan pengadilan yang berlawanan dengan kepentingannya. Bahkan, ia pernah berkolaborasi dengan tokoh-tokoh lain, seperti miliarder teknologi Elon Musk, dalam menyerukan pemakzulan terhadap hakim-hakim tertentu.
Ketidakpuasan Trump terhadap Hakim Boasberg berdasarkan dugaan bahwa seperti banyak hakim lain, Boasberg menggagalkan kebijakan yang dikejar Trump, termasuk upaya deportasi. Dalam sebuah sidang, Boasberg dikabarkan meminta penjelasan dari pengacara pemerintah mengapa pesawat yang membawa para deportan belum kembali ke AS setelah perintah untuk menghentikan deportasi dikeluarkan.
Situasi ini menunjukkan ketegangan yang berkembang antara kekuasaan eksekutif dan yudisial di AS. Roberts, yang sebelumnya memiliki pandangan yang cenderung mendukung kekebalan presiden, menegaskan bahwa perdebatan hukum harus diselesaikan melalui jalur yang telah ditentukan, tanpa mengaitkan perbedaan pendapat dengan pemakzulan.
Meski Trump dan Roberts memiliki hubungan yang kompleks, terutama terkait dukungan Roberts pada tantangan Trump terhadap keterbatasan kekuasaan presiden, pernyataan kali ini menggambarkan komitmen Roberts untuk menjaga integritas sistem peradilan. Dengannya, Roberts ingin menekankan bahwa meskipun terdapat perbedaan pandangan, proses hukum yang berlaku harus dihormati.
Mengingat kesulitan yang dihadapi oleh Trump dalam sistem peradilan saat ini, termasuk beberapa tuntutan hukum serius yang dihadapinya, pernyataan Roberts juga mencerminkan upaya untuk mempertahankan independensi dan kewibawaan Mahkamah Agung. Dengan berbagai tantangan hukum yang terus muncul, Mahkamah Agung diharapkan akan menjadi arena penting bagi penyelesaian sengketa yang melibatkan kebijakan pemerintah Trump di masa depan, memastikan bahwa setiap keputusan yudisial tetap berada dalam kerangka hukum yang telah ditetapkan.