Kebijakan Pembelian Gas Elpiji 3 Kg di Pangkalan: Rakyat Tertekan!

Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mewajibkan pembelian gas elpiji 3 kg langsung dari pangkalan resmi mengguncang masyarakat, yang selama ini mengandalkan pengecer. Keputusan ini mendapat kecaman luas, terutama di media sosial, di mana banyak warga mengungkapkan ketidakpuasan dan kesulitan yang mereka alami dalam mendapatkan gas bersubsidi tersebut.

Larangan penjualan gas elpiji 3 kg melalui pengecer dimaksudkan agar distribusi subsidi tepat sasaran. Namun, kenyataannya, banyak masyarakat yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan gas ini dengan cara baru yang diterapkan pemerintah. Pangkalan resmi kini dipadati antrean panjang, sementara para pengecer yang sebelumnya menjadi pilihan utama terpaksa disingkirkan dari sistem distribusi.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari transisi untuk merubah kebiasaan masyarakat dalam membeli gas elpiji. Dia mengklaim bahwa tidak ada pengurangan kouta atau pemangkasan subsidi, namun situasi di lapangan berbicara lain. Masyarakat mengeluhkan bahwa jarak ke pangkalan resmi kini jauh lebih jauh dibandingkan sebelumnya, sehingga menambah beban mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Dulu saya bisa membeli gas elpiji di dekat rumah, sekarang saya harus berjalan jauh untuk mendapatkan gas,” ungkap salah satu warga yang mengalami kesulitan akibat kebijakan ini. Sejumlah penjual gas elpiji juga menambahkan bahwa kebijakan ini mempersulit mereka yang selama ini bergantung pada penjualan di pengecer untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Bahlil berusaha meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan gas elpiji dan mengurangi potensi kelangkaan. Dia menggarisbawahi perlunya perubahan ini agar subsidi tepat sasaran dan mendorong para pengecer untuk mendaftar menjadi pangkalan resmi. “Ini juga membantu memastikan ketersediaan gas di pasaran dan mengurangi potensi kelangkaan,” ujarnya.

Meski demikian, banyak warga yang merasa kebijakan ini justru menyengsarakan mereka. Penutupan akses pembelian melalui pengecer tidak diimbangi dengan ketersediaan pangkalan yang memadai, dan ini membawa dampak pada kehidupan sehari-hari. “Kalau bisa, saya ingin membeli gas elpiji tanpa harus mengantri berlama-lama,” keluh warga lainnya.

Data menunjukkan bahwa harga gas elpiji di pengecer bisa melonjak hingga Rp 4.000-Rp 5.000 per tabung, jauh di atas harga resmi yang dipatok pemerintah. Sebagai bagian dari subsidi, pemerintah mengeluarkan anggaran hingga Rp 36.000 untuk ukuran 3 kg, namun dengan penerapan kebijakan ini, masyarakat mencemaskan potensi kenaikan harga gas di pasaran.

Pengawasan terhadap distribusi gas elpiji juga menjadi perhatian, terutama setelah muncul laporan bahwa ada kelompok tertentu yang memperoleh gas dengan jumlah tidak wajar. Menteri Bahlil menegaskan bahwa melalui pangkalan resmi, pemerintah dapat lebih mudah mengontrol harga dan distribusi gas elpiji, kendati saat ini masyarakat tetap merasakan kesulitan dalam perolehan gas melainkan adanya inayah dari kebijakan baru ini.

Meskipun Bahlil meminta agar masyarakat memberi waktu untuk penyesuaian, banyak yang berharap pemerintah segera menemukan solusi agar gas elpiji bisa didapatkan dengan mudah dan terjangkau oleh seluruh kalangan, terutama bagi mereka yang memang membutuhkan subsidi. Kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk menata distribusi dan meningkatkan efisiensi kini justru menjadi penghalang bagi banyak warga untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka sehari-hari, dan menambah beban ekonomi masyarakat yang sudah terpuruk.

Exit mobile version