Internasional

Gaza, Octopus – Dalam 470 hari terakhir, serangan yang dilancarkan oleh Israel di Jalur Gaza telah mengakibatkan tewasnya 205 jurnalis dan pekerja media Palestina. Kantor berita Pemerintah Gaza mengungkapkan bahwa situasi ini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk menghapus kebenaran tentang kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut. Mengapa hal ini menjadi perhatian global? Sebab, genosida yang dituduhkan kepada Israel ini dianggap sebagai serangan paling mematikan bagi jurnalis dalam 30 tahun terakhir. Dalam pernyataan resmi, kantor media tersebut mengekspresikan kesedihan dan kebanggaan mendalam atas pengorbanan para jurnalis. Mereka menilai jurnalis-jurnalis ini sebagai pahlawan yang berdedikasi untuk menyampaikan fakta apa adanya tentang situasi di Gaza. "Para pahlawan ini dibunuh oleh pasukan pendudukan Israel dalam upaya untuk menekan narasi Palestina dan menghapus kebenaran. Namun, pendudukan tersebut gagal mematahkan semangat rakyat kami yang mulia," ungkap pernyataan yang dikutip dari Quds News Network. Kematian jurnalis tidak hanya berdampak pada keluarga dan rekan kerja mereka, tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap media. Di tengah penutupan akses bagi jurnalis asing, banyak pihak berpendapat bahwa Israel berusaha untuk menyembunyikan realitas kejahatan perang yang terjadi. Dalam laporan tahunan yang dirilis oleh Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), mereka mencatat bahwa Israel bertanggung jawab atas lebih dari dua pertiga kematian jurnalis di seluruh dunia pada tahun 2024. Berikut adalah beberapa data terkait insiden jurnalis di Gaza selama kurun waktu ini: Jumlah jurnalis tewas: 205 Warga Palestina di antara korban: 82 Jumlah jurnalis yang mengalami kematian karena aksi militer Israel: 85 Persentase kematian jurnalis di Gaza dibandingkan dengan keseluruhan dunia: lebih dari setengah dari total 104 jurnalis yang tewas pada tahun 2024. Ketua CPJ, Jodie Ginsberg, menyatakan bahwa dampak perang di Gaza terhadap jurnalis sangat mengejutkan dan menunjukkan kemunduran signifikan dalam perlindungan jurnalis di zona konflik. Dia juga menegaskan bahwa Gaza menjadi salah satu tempat tersulit bagi wartawan untuk melaksanakan tugasnya. Selain itu, Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) mengecam keras tindakan Israel dan menyatakan bahwa 2024 adalah tahun ketiga berturut-turut yang berdarah bagi jurnalis. Sekretaris Jenderal IFJ Anthony Bellanger menyebut tindakan Israel sebagai "pembantaian yang terjadi di depan mata seluruh dunia." Sementara itu, laporan dari Reporters Without Borders (RSF) menandai Palestina sebagai negara paling berbahaya bagi jurnalis dalam lima tahun terakhir, dengan angka kematian jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain. Sistematisasi serangan terhadap jurnalis oleh Israel menimbulkan pertanyaan serius tentang kebebasan pers dan hak asasi manusia. Penutupan akses bagi wartawan asing juga menambah tantangan dalam menyingkap kebenaran di lapangan. Banyak jurnalis melaporkan adanya penghalangan akses untuk meliput situasi di Gaza, yang berarti bahwa cerita dan fakta dapat dirusak atau bahkan diabaikan. Dalam konteks ini, peran jurnalis sebagai penyalur informasi berfungsi tidak hanya untuk menyampaikan berita, tetapi juga untuk melindungi hak asasi manusia, memberikan suara kepada yang terpinggirkan, serta menuntut akuntabilitas atas pelanggaran yang terjadi. Namun, dengan meningkatnya risiko terhadap keselamatan para jurnalis di wilayah konflik seperti Gaza, tantangan yang dihadapi semakin besar. Melihat data dan fakta yang ada, dunia seharusnya tidak hanya menyaksikan tragedi yang terjadi, tetapi juga aktif dalam mendukung perlindungan terhadap jurnalis yang berjuang dalam situasi kritis ini. Sebab, setiap nyawa jurnalis yang hilang bukan hanya kehilangan untuk keluarga dan teman mereka, tetapi juga kehilangan bagi masyarakat luas yang berhak mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang.