Teheran meningkatkan nada ancamannya terhadap Israel, menyusul pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menyatakan niatnya untuk mengatasi program nuklir Iran. Netanyahu mengindikasikan bahwa Israel siap untuk “menyelesaikan pekerjaan” terhadap Iran jika mendapatkan dukungan dari Presiden AS Donald Trump. Pernyataan tersebut muncul di tengah laporan bahwa Badan Intelijen AS memperingatkan kemungkinan serangan besar oleh Israel terhadap fasilitas nuklir Iran dalam waktu dekat, memanfaatkan kondisi yang dianggap rentan oleh Iran.
Dalam situasi ini, Mohammad Javad Zarif, Wakil Presiden Iran untuk Urusan Strategis, menanggapi dengan tegas pernyataan tersebut. “Kami tidak dalam kondisi terlemah; kami berada dalam posisi untuk bergerak maju dan membangun narasi kekuatan,” ucapnya, menolak anggapan bahwa Iran telah kehilangan pengaruh regionalnya dan tengah berupaya mengembangkan senjata nuklir karena putus asa.
Zarif menambahkan bahwa narasi yang dibangun oleh Netanyahu merupakan upaya untuk mendistorsi kenyataan. Ia mengingatkan bahwa selama lebih dari 30 tahun, Israel telah mengklaim Iran hampir memiliki bom nuklir, namun hingga kini klaim tersebut terus berulang tanpa bukti nyata. “Ini adalah narasi yang salah,” tegasnya, menegaskan bahwa Iran tetap memiliki kekuatan di kawasan tersebut.
Menyikapi kemungkinan serangan, pejabat tinggi militer Iran juga berang. Amir Ali Hajizadeh, komandan unit rudal Garda Revolusi, menyatakan bahwa klaim tentang lemahnya kondisi Iran merupakan bagian dari kampanye perang psikologis yang dilancarkan oleh Barat. Ia menekankan bahwa setiap ancaman militer terhadap Iran akan mendapat respons yang sangat serius, merujuk pada serangan rudal yang dilakukan Iran ke wilayah Israel pada tahun lalu.
Dalam konteks yang lebih luas, ketegangan regional semakin meningkat. Beberapa analis menilai bahwa kondisi internal Iran saat ini, termasuk kesulitan ekonomi dan kemunduran pengaruh politik di Timur Tengah, mengarah pada dorongan untuk berunding dengan AS. Namun, Zarif menolak anggapan bahwa negosiasi ini adalah tanda kelemahan. Menurutnya, Iran tetap berkomitmen pada posisinya dan takkan pernah tunduk pada tekanan asing.
“Dia (Netanyahu) salah jika menganggap bahwa kami dalam posisi yang rentan,” kata Zarif saat menggarisbawahi bahwa sikap defensif negara-negara Barat di sekitar Iran hanya akan memperburuk situasi, bukan memperbaikinya. Dalam pidatonya di Konferensi Keamanan Munich, ia juga mengingatkan bahwa tindakan agresif terhadap Iran bisa berbalik dan memicu konsekuensi yang tidak diinginkan, tidak hanya bagi Iran, tetapi juga bagi negara-negara Barat.
Perdana Menteri Israel, sementara itu, tampaknya masih yakin bahwa situasi yang ada menguntungkan Israel dan mendukung kemungkinan intervensi militer. Namun, pernyataan keras dari pejabat Iran, termasuk dari Komandan Garda Revolusi Hossein Salami yang menyebut Iran sebagai “negara besar dan kuat,” menunjukkan bahwa Teheran tetap percaya diri dalam menghadapi setiap ancaman.
Latihan militer tahunan yang dilakukan oleh tentara Iran dan Garda Revolusi, yang berfokus pada wilayah barat daya negara tersebut, juga merupakan bagian dari upaya Iran untuk menegaskan kekuatannya, termasuk potensi pasukan militernya. “Kami kuat, dan musuh kami sangat menyadari kekuatan ini. Tentu saja, kami berkewajiban untuk menjadi kuat,” ujarnya, mengekspresikan keyakinan bahwa Iran akan terus mempertahankan kehadirannya di panggung internasional meskipun ada tantangan yang dihadapi.
Pergeseran narasi ini menunjukkan bahwa, meskipun situasi di Iran tampaknya kompleks, pemimpin negara tersebut tidak hanya optimis tentang kekuatan mereka, tetapi juga berkomitmen untuk memperjuangkan posisi mereka di tengah tekanan internasional yang semakin meningkat.