Front Persatuan Tiongkok Desak Pengawasan Ketat Ajaran Buddha

Pelepasan makhluk hidup, atau Buddhist Life Release, merupakan praktik yang tak asing bagi umat Buddha, di mana penganutnya membeli hewan seperti ikan dan burung untuk kemudian dilepaskan kembali ke lingkungan alaminya. Praktik ini, yang juga dilakukan oleh umat Buddha Tibet dengan tujuan mencegah penyembelihan, kini tengah mendapat perhatian khusus dari pemerintahan Tiongkok. Dalam beberapa minggu terakhir, media yang dikelola oleh Partai Komunis Tiongkok (CCP) mulai melabeli praktik ini sebagai “takhayul feodal” yang perlu diregulasi dengan ketat.

Sebagai salah satu tokoh yang sering terlibat dalam penyelenggaraan pelepasan makhluk hidup, Lama Tibet Humkar Dorje baru-baru ini menjadi fokus perhatian setelah dilaporkan hilang dan ditemukan meninggal dalam keadaan mencurigakan di Vietnam. Kejadian ini menambah ketegangan terkait praktik pelepasan makhluk hidup, yang dipandang mempertanyakan keselamatan para pemuka agama dan penganutnya.

Pekan lalu, Asosiasi Buddha Tiongkok mengadakan rapat di Beijing untuk membahas regulasi praktik pelepasan makhluk hidup. Pertemuan tersebut dilaksanakan pada tanggal 8 April 2025, dengan agenda yang mencakup pembelajaran tentang “Pemikiran Xi Jinping tentang Peradaban Ekologis” dan review peraturan-peraturan yang relevan. Master Yanjue, Presiden Asosiasi, memimpin pertemuan ini yang dihadiri oleh pejabat-pejabat tinggi dari Departemen Kerja Pusat Front Persatuan serta perwakilan dari Asosiasi Buddha Tibet.

Dalam laporan resmi hasil pertemuan, ditegaskan bahwa praktik ini harus sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemikiran ideologi CCP. Teks yang dikeluarkan mengharuskan umat Buddhis untuk memahami dan mentaati regulasi, serta melaksanakan praktik pelepasan makhluk hidup dengan memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku. Arahan diambil dari “Pemikiran Xi Jinping tentang Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok untuk Era Baru,” serta mengintegrasikan konsep belas kasih dalam ajaran Buddha dengan ideologi negara.

Munculnya regulasi ketat ini memicu kritik dari berbagai pihak, dengan banyak yang beranggapan bahwa tindakan tersebut merupakan upaya untuk mengendalikan aktivitas keagamaan dan menekan praktik spiritual yang telah eksis lebih dari 1.700 tahun. Meski ada argumentasi tentang potensi komersialisasi dan dampak ekologi dari pelepasan spesies asing, banyak kalangan menganggap bahwa justifikasi ini tidak proporsional dan berdampak negatif terhadap kebebasan beragama umat Buddha di Tiongkok.

Menurut laporan dari Bitter Winter, perhatian pemerintah terhadap praktik ini mencerminkan ketidaknyamanan terhadap aktivitas keagamaan yang tidak berada di bawah kontrol langsung mereka. Regulasi baru mencakup pengawasan yang lebih ketat terhadap pelepasan makhluk hidup, meskipun praktik tersebut tidak secara resmi dilarang. Seiring meningkatnya pengawasan, masyarakat Buddhis di Tiongkok diharapkan untuk meningkatkan kesadaran hukum dan memahami pentingnya mematuhi kerangka regulasi yang ditetapkan.

Sementara praktisi yang ingin meneruskan tradisi pelepasan makhluk hidup di lokasi-lokasi tertentu terpaksa beradaptasi dengan kebijakan baru yang ketat, banyak kalangan tetap berharap bahwa kepatuhan akan regulasi ini akan berjalan seiring dengan penghormatan terhadap nilai-nilai inti ajaran Buddha. Dalam konteks ini, terdapat harapan supaya praktik pelepasan makhluk hidup dapat dilaksanakan tanpa intervensi dari pihak berwenang, sehingga umat Buddha dapat menjalankan keyakinan mereka dengan lebih bebas.

Dengan seruan pemerintah untuk mengatur kembali praktik ini, menjadi jelas bahwa keseimbangan antara menjaga tradisi keagamaan dan penegakan hukum merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh umat Buddha di Tiongkok saat ini.

Exit mobile version