Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, kembali menegaskan pentingnya pengakuan kedaulatan Palestina sebagai langkah krusial untuk mencapai stabilitas di kawasan Timur Tengah. Dalam konferensi pers yang digelar di Bogor pada Rabu, 25 Oktober 2023, bersama Presiden Prabowo Subianto, Erdogan menyatakan bahwa pembentukan negara Palestina yang berdaulat tidak bisa ditunda lagi. Ia menekankan bahwa garis perbatasan yang diakui harus berpatokan pada kondisi sebelum Perang Enam Hari tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Erdogan berpendapat bahwa setiap upaya untuk mendelegitimasi hak-hak Palestina atau mereduksi status mereka hanya akan memperpanjang konflik yang sudah lama berlarut-larut. “Keadilan bagi Palestina merupakan elemen kunci bagi perdamaian di Timur Tengah,” ucapnya. Dengan tegas, ia menolak segala bentuk usulan yang bertentangan dengan prinsip pembentukan negara merdeka Palestina, mengatakan bahwa kebijakan yang tidak mendukung Palestina hanya akan meningkatkan ketegangan di kawasan ini dan mengancam stabilitas yang lebih luas.
Dalam pandangan Erdogan, konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah tidak hanya berdampak pada wilayah tersebut tetapi juga memengaruhi keamanan global. “Tanpa solusi yang adil, kawasan akan terus dalam ketidakpastian,” lanjutnya. Pernyataan ini muncul di tengah berbagai ketegangan yang meningkat, termasuk konflik bersenjata yang melibatkan Gaza dan Israel.
Erdogan juga menyoroti bahwa keengganan beberapa negara untuk mengakui kedaulatan Palestina dapat mendorong adanya rekayasa kebijakan yang lebih merugikan pihak-pihak yang terlibat, terutama warga sipil yang tidak bersalah. Ia mengajak semua pihak untuk mendukung hak-hak dan keinginan rakyat Palestina dalam memperoleh status yang setara sebagai bangsa yang merdeka.
Pernyataan Erdogan juga mendapat resonansi dari reaksi global terhadap kebijakan yang diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump. Dalam konteks ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron dengan kerasnya mengkritik rencana pemindahan warga Palestina dari Gaza yang diusulkan oleh Trump. Macron menegaskan bahwa langkah tersebut tidak hanya melanggar hak asasi manusia tetapi juga bertentangan dengan hukum internasional. “Dua juta orang tidak bisa begitu saja dipindahkan dengan keputusan sepihak,” ujarnya, merujuk pada gagasan pemindahan warga Palestina ke negara tetangga seperti Mesir dan Yordania.
Kritik yang mengalir terhadap proposal Trump mencerminkan kekhawatiran serius tentang potensi pembersihan etnis dan dampaknya terhadap rakyat Palestina. PBB dan beberapa pemimpin dunia lainnya juga menyuarakan penolakan terhadap gagasan ini, seraya menekankan hak warga Palestina untuk tetap tinggal dan hidup di tanah air mereka.
Sebagai upaya untuk mengedepankan solusi yang lebih konstruktif, Inggris menyatakan komitmennya terhadap solusi dua negara sebagai jalan keluar yang diharapkan dapat membawa perdamaian dan stabilitas yang lebih berkepanjangan. “Kekhawatiran terhadap kondisi Gaza harus dihadapi dengan pemikiran yang bersifat inklusif, bukan dengan pemindahan paksa yang hanya akan menambah penderitaan,” kata Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy.
Dengan pernyataan tegas dari Erdogan dan tanggapan internasional terhadap kebijakan yang kontroversial, situasi di Timur Tengah tetap dalam sorotan global. Kedaulatan Palestina yang diakui secara internasional dianggap sebagai kunci untuk memecahkan masalah yang telah berlangsung lama ini, yang tanpa solusi nyata, hanya akan berpotensi memperburuk ketegangan dan konflik di masa depan. Sementara itu, harapan untuk mencapai solusi damai dan stabilitas di kawasan Timur Tengah sangat bergantung pada komitmen bersama dari semua aktor yang terlibat, demi keadilan dan perdamaian bagi rakyat Palestina.