Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang bernama Zarof Ricar, terlibat dalam kasus suap yang mencengangkan. Zarof dituduh melakukan pemufakatan jahat bersama dengan pengacara Gregorius Ronald Tannur dan seorang pengacara bernama Lisa Rachmat. Pihak berwenang mengungkapkan bahwa keduanya berencana memberikan suap berupa uang tunai sebesar Rp5 miliar kepada Hakim Soesilo, selaku Ketua Majelis Kasasi MA. Rencana ini bertujuan untuk mempengaruhi putusan di tingkat kasasi dalam kasus yang melibatkan Ronald Tannur.
Kasus ini muncul setelah putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur pada tanggal 24 Juli 2024 melalui putusan Nomor: 454/Pid.B/2024/PN.Sby. Namun, MA kemudian membatalkan putusan tersebut dan menghukum Ronald Tannur dengan pidana penjara selama lima tahun pada tanggal 22 Oktober 2024, yang memicu reaksi dari para pihak terkait.
Jaksa penuntut umum, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta Pusat pada Senin, 10 Februari 2025, menjelaskan bahwa Zarof Ricar dan Lisa Rachmat melanggar ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a jo Pasal 15 jo Pasal 18 Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Jaksa menyatakan, “Terdakwa melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.”
Uang yang disiapkan untuk suap tersebut dilaporkan telah disimpan di rumah Zarof di Jalan Senayan, Jakarta Selatan. Proses penyerahan uang dilakukan secara bertahap kepada Zarof oleh Lisa Rachmat, di mana total uang suap tersebut berjumlah Rp5 miliar. Menurut informasi yang beredar, uang tersebut merupakan pecahan mata uang Dollar Singapura dan diserahkan dua kali, masing-masing sebesar Rp2,5 miliar.
Bukan hanya kasus suap ini saja yang dibawa dalam sidang tersebut. Zarof juga diduga menerima gratifikasi dalam jumlah yang mencengangkan, sebesar Rp915 miliar dan 51 kilogram emas. Dugaan ini menunjukkan adanya jaringan praktik korupsi yang lebih besar yang dapat melibatkan pejabat-pejabat di lembaga hukum.
Kasus ini menuai perhatian publik yang luas, karena berpotensi merusak reputasi lembaga peradilan di Indonesia. Pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, juga dihadapkan pada masalah hukum yang sama, menunjukkan bahwa kolusi di kalangan pengacara dan pejabat hukum menjadi isu serius yang perlu ditangani oleh penegak hukum.
Majelis hakim dalam kasus ini terdiri dari Ketua Majelis Soesilo, serta hakim anggota Sutarjo dan Ainal Mardhiah. Menariknya, dalam putusan yang dibuat oleh MA, terdapat dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari Ketua Majelis Hakim Soesilo. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kesepakatan di antara beberapa anggota majelis, terdapat sikap berbeda mengenai niat jahat di antara para terpidana, dalam hal ini, Ronald Tannur. Soesilo berpendapat bahwa tidak ada niat untuk membunuh, yang menunjukkan kompleksitas kasus ini dari sudut pandang hukum.
Pengadilan ini bukan hanya sekadar sidang biasa, tetapi menjadi simbol penting dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat berharap agar kasus ini diusut tuntas agar bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak di institusi peradilan dan mendorong transparansi serta integritas di lembaga tersebut.
Dengan kasus ini, penegakan hukum di Indonesia mendapat tantangan baru untuk menanggapi dan menangani isu korupsi yang melibatkan aparat hukum. Keterlibatan mantan pejabat MA dalam dugaan suap menunjukkan potensi adanya praktik yang harus dibongkar guna menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.