Jakarta, Octopus – Rancangan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) menjadi sorotan penting bagi pemerintah dan masyarakat, terutama terkait dengan perlindungan pekerja migran Indonesia dari tindakan kejahatan kemanusiaan. Anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Evita Nursanty, menekankan pentingnya RUU ini sebagai payung hukum yang dapat melindungi pekerja migran dari berbagai bentuk eksploitasi, termasuk perdagangan orang dan perbudakan modern.
Evita Nursanty menjelaskan bahwa pekerja migran Indonesia sering kali menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). “RUU P2MI harus memberikan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia dari praktik perdagangan manusia, perbudakan modern, kerja paksa, kesewenang-wenangan, dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan lainnya,” ungkapnya dalam pernyataan yang disampaikan pada hari Minggu, 23 Maret 2025.
Langkah konkret menuju reformasi kebijakan ini dianggap krusial untuk menghadapi tantangan yang dihadapi oleh pekerja migran. “RUU P2MI diharapkan dapat memperketat regulasi dan sanksi bagi agen tenaga kerja ilegal yang memanfaatkan pekerja migran untuk kepentingan eksploitasi di luar negeri,” tambah Evita.
Rahasia di balik masalah ini adalah kurangnya perlindungan hukum dan pengawasan terhadap praktik pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Menurut Evita, regulasi yang lebih ketat akan meningkatkan perlindungan hukum, termasuk mekanisme bantuan hukum serta perlindungan bagi korban TPPO. “Dengan RUU ini, kita ingin memastikan negara memiliki sistem pengawasan yang lebih ketat dalam mengontrol keberangkatan pekerja migran ke negara-negara dengan risiko tinggi perdagangan orang,” jelasnya.
Wakil Ketua Komisi VII ini menyatakan bahwa DPR akan berupaya memastikan kebijakan yang dihasilkan lewat RUU P2MI benar-benar melindungi WNI agar tidak kembali menjadi korban perdagangan orang di luar negeri. “Sudah banyak sekali anak-anak bangsa yang tertipu dan menjadi korban perdagangan orang atas iming-iming pekerjaan bergaji besar di luar negeri. Tak sedikit juga yang kemudian disiksa dan mengalami bentuk-bentuk kekerasan lainnya,” keluh politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut.
Selain itu, PDIP mengusulkan agar RUU P2MI menyediakan ruang bagi pekerja migran Indonesia yang bekerja secara ilegal untuk melaporkan diri ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di negara tempat mereka bekerja apabila mengalami kekerasan.
Proses legislasi RUU P2MI akan melibatkan serangkaian perubahan. RUU ini telah diusulkan sebagai inisiatif Badan Legislasi DPR dan mulai dibahas sejak akhir Januari 2025. Pada tanggal 20 Maret 2025, RUU ini resmi disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dan dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Ada total 29 perubahan dalam RUU tersebut, yang mencakup beberapa aspek penting. Di antara perubahan tersebut adalah ketentuan mengenai kategori pekerjaan migran, syarat-syarat bagi pekerja migran, serta kewajiban mereka sebelum bekerja di luar negeri. Selain itu, RUU ini juga akan menghapus Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan menggantinya dengan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, mengindikasikan adanya perubahan struktural dalam pengelolaan perlindungan pekerja migran.
Dengan semua perubahan dan penekanan perlindungan atas hak pekerja migran,harapan besar terdapat di pundak RUU P2MI untuk menjadi solusi nyata bagi perlindungan pekerja migran Indonesia dari eksploitasi dan tindak pidana perdagangan orang. Sebuah langkah yang harus diambil untuk memberikan rasa aman dan keadilan bagi banyak keluarga yang menggantungkan harapan pada kerja di luar negeri.