Jakarta, Octopus – Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 terancam tembus 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) akibat penurunan tajam penerimaan pajak yang mencapai 41,8 persen. Data ini diungkap dalam laporan terbaru “APBN Kita” yang dirilis oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) setelah penundaan sepanjang bulan Januari.
Penerimaan pajak yang menurun drastis memiliki dua faktor utama, menurut penjelasan Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda. Pertama, adanya pengembalian dana restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) tahun 2024, dan kedua, kendala dalam sistem perpajakan terbaru bernama Coretax, yang mengakibatkan kesulitan bagi wajib pajak dalam melaporkan kewajiban mereka. Kesulitan ini telah mengakibatkan kehilangan potensi penerimaan pajak sekitar Rp64 triliun hanya untuk bulan Januari 2025.
Tujuan sistem Coretax yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengumpulan pajak terancam gagal dengan munculnya masalah ini. Hal ini memicu kekhawatiran akan berkurangnya rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang, jika terus berlanjut, dapat membuat defisit anggaran semakin melebar. Dalam hal ini, Huda menegaskan pentingnya pemantauan intensif agar defisit tidak melampaui ambang batas yang ditentukan.
Belanja pemerintah juga mengalami penurunan signifikan. Tercatat adanya pengurangan sebesar 10,76 persen dalam pengeluaran belanja pusat, dengan belanja kementerian dan lembaga (K/L) merosot hingga 45,5 persen. Penurunan ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi, karena belanja pemerintah berfungsi sebagai motor utama perputaran uang di masyarakat. Hal ini juga dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap proyek-proyek infrastruktur yang dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Anjloknya belanja pemerintah dapat menyebabkan pengurangan kegiatan ekonomi dan meningkatkan pengangguran, terutama di sektor konstruksi,” tambah Huda.
Kondisi di Indonesia terlihat berbeda dengan apa yang terjadi di negara lain, seperti Argentina dan Vietnam. Meskipun pemerintah Argentina melakukan pemangkasan anggaran, penerimaan pajak mereka tetap melonjak hingga 11 persen pada Februari 2025, yang bahkan menyebabkan surplus fiskal. Vietnam memilih untuk mengefisiensikan anggaran dan merampingkan birokrasi, yang pada gilirannya menarik investasi. Namun, Indonesia justru mengalami krisis dalam penerimaan pajak yang mengakibatkan penambahan utang yang tidak terkendali.
Menganalisis krisis ini, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, memperingatkan bahwa jika utang pada Januari meningkat hingga 43,5 persen, maka pada akhir 2025 nilai utang pemerintah diperkirakan akan mencapai Rp10.000 triliun. Hal ini berpotensi menyebabkan lonjakan tajam dalam beban bunga utang dan menciptakan efek “crowding out” di sektor keuangan. “Rating surat utang pemerintah juga diprediksi akan tertekan akibat perkembangan ini,” ungkap Bhima.
Lebih lanjut, Huda menyoroti bahwa pengelolaan anggaran yang tidak memadai berawal dari program-program ambisius yang tidak disertai dengan peningkatan sumber pendapatan pajak. Ini mengakibatkan efisiensi drastis yang mengorbankan belanja hingga Rp306 triliun serta mempengaruhi rencana pengangkatan pegawai negeri baru.
Dalam keadaan genting ini, desakan juga datang dari Bhima yang mendesak Menteri Keuangan dan jajarannya untuk mundur, dengan alasan mereka gagal menghadirkan terobosan kebijakan perpajakan yang inovatif dan efektif. Menurutnya, penerapan Coretax yang cacat semakin memperburuk situasi keuangan negara yang kini menghadapi masalah serius.
Ke depan, pemerintah harus segera menyusun rencana perbaikan untuk stabilisasi keuangan yang berfokus pada peningkatan basis pajak dan pemulihan belanja publik agar Indonesia dapat terhindar dari potensi krisis anggaran yang lebih dalam.