Seorang pria bernama Michael Garcia mendapatkan perhatian luas setelah berhasil memenangkan ganti rugi sebesar 50 juta dolar AS atau sekitar Rp 815 miliar dari Starbucks. Kejadian ini berawal pada 8 Februari 2020 ketika Garcia yang bekerja sebagai sopir pengantar barang mengalami luka bakar parah setelah minuman teh panas seukuran venti tumpah di pangkuannya saat ia mengambil pesanan di drive-through Starbucks di California.
Menurut catatan pengadilan, insiden tersebut menyebabkan Garcia harus menjalani cangkok kulit serta beberapa prosedur medis lain pada alat kelaminnya, yang berujung pada cacat permanen dan perubahan drastis dalam kehidupannya. Gugatan hukum yang diajukan oleh Garcia menyatakan bahwa Starbucks melakukan kelalaian dengan tidak menjepit tutup cangkir teh panas tersebut dengan cukup erat ke dalam nampan makanan siap saji. Hal ini dianggap sebagai penyebab utama cedera yang dialaminya.
“Kami melihat putusan ini sebagai langkah penting dalam meminta pertanggungjawaban Starbucks atas pengabaian yang mencolok terhadap keselamatan pelanggan serta kegagalan dalam menerima tanggung jawab,” ujar Nick Rowley, salah satu pengacara Garcia, dalam pernyataan resminya yang dilansir CNN pada Senin, 17 Maret 2025.
Sebagai respons terhadap keputusan juri tersebut, Starbucks mengungkapkan rasa simpati terhadap Garcia, namun mereka berencana untuk mengajukan banding. “Kami tidak setuju dengan keputusan juri yang menyatakan bahwa kami bersalah atas insiden ini dan kami percaya bahwa ganti rugi yang diberikan terlalu berlebihan,” ungkap pihak Starbucks dalam sebuah pernyataan resmi. Mereka juga menegaskan komitmen untuk menjaga standar keselamatan yang tinggi dalam menangani minuman panas.
Insiden ini bukanlah yang pertama kalinya Starbucks atau restoran cepat saji lainnya terlibat dalam tuntutan hukum terkait luka bakar. Pada tahun 1990-an, salah satu kasus terkenal melibatkan seorang wanita yang menerima ganti rugi hampir 3 juta dolar AS setelah mengalami luka bakar saat mencoba membuka tutup cangkir kopi di drive-through McDonald’s. Kasus tersebut kemudian diselesaikan dengan jumlah yang tidak disampaikan, setelah hakim mengurangi ganti rugi awal.
Pengacara Garcia menekankan pentingnya keputusan ini untuk mendorong perusahaan agar lebih bertanggung jawab dalam menjamin keselamatan produk yang mereka jual. Melihat fakta-fakta ini, insiden di Starbucks kembali menyoroti kekhawatiran yang lebih besar mengenai bagaimana keselamatan konsumen diabaikan dalam proses pelayanan makanan dan minuman siap saji.
Starbucks bukan hanya menghadapi tantangan hukum ini, tetapi juga harus berurusan dengan dampak reputasi yang muncul akibat insiden tersebut. Penilaian masyarakat terhadap standar keselamatan dan kualitas layanan mereka dapat terpengaruh, yang pada gilirannya dapat berdampak pada penjualan dan loyalitas pelanggan.
Namun, dalam konteks lebih luas, kasus ini juga membuka diskusi mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap pelanggan serta batasan hukum yang ada. Banyak orang mulai mempertimbangkan sejauh mana perusahaan bertanggung jawab atas insiden yang terjadi di luar kendali mereka, dan bagaimana sistem hukum dapat melindungi hak-hak konsumen.
Dengan keputusan juri yang masih bisa diperdebatkan melalui proses banding yang akan dilakukan Starbucks, masyarakat kini menunggu kelanjutan cerita ini dan implikasinya bagi industri pelayanan makanan dan minuman di masa depan. Penilaian mengenai apakah ganti rugi yang dikucurkan adalah adil atau berlebihan akan menjadi bahan diskusi yang hangat di kalangan masyarakat dan pakar hukum. Kena kopi panas yang menyebabkan luka bakar ini menjadi pengingat akan risiko yang selalu ada dalam interaksi sehari-hari dengan produk konsumen.