Literasi asuransi syariah di Indonesia masih tergolong rendah, meskipun negara ini memiliki populasi mayoritas Muslim. Hal ini disampaikan oleh Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) yang mencatat bahwa pada tahun 2024, tingkat literasi asuransi syariah baru mencapai 9,47%. Meski ada peningkatan sebanyak 4,92% dibandingkan tahun 2022 yang hanya 4,55%, angka tersebut masih dianggap minim mengingat konteks demografis Indonesia.
Direktur Eksekutif AASI, Erwin H. Noekman, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi XI DPR RI pada 17 Maret 2025 menilai situasi ini sebagai sebuah anomali. “Indeks literasi asuransi syariah masih sangat minim. Ini mungkin sebagai anomali yang terjadi di Indonesia di mana indeks literasi asuransi syariah masih sangat kecil walau ada peningkatan,” ujarnya.
Di sisi lain, data dari AASI juga menunjukkan bahwa indeks inklusi keuangan syariah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan positif, dengan angka mencapai 1,17% pada tahun 2024, meningkat dari 0,34% pada tahun 2022. Meskipun demikian, Erwin menekankan bahwa tantangan yang dihadapi oleh industri asuransi syariah masih sangat besar. “Ini jadi tantangan dan PR besar bagi kami untuk mengembalikan fakta bahwa Indonesia adalah mayoritas Muslim, tetapi justru untuk industri keuangan syariah termasuk asuransi syariah masih sangat minim,” ujarnya.
Beberapa langkah strategis telah ditetapkan oleh AASI untuk meningkatkan literasi dan inklusi asuransi syariah. Langkah-langkah tersebut antara lain:
- Pengembangan Produk Asuransi Terjangkau: Meningkatkan akses masyarakat terhadap produk asuransi syariah dengan harga yang lebih bersahabat.
- Edukasi dan Literasi Keuangan Syariah: Mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya asuransi syariah dan manfaatnya secara langsung.
- Digitalisasi dan Inovasi Teknologi: Memanfaatkan teknologi digital untuk menjangkau konsumen lebih luas.
- Kemitraan dengan Lembaga Keuangan Lainnya: Bekerja sama dengan berbagai institusi untuk memperluas jaringan distribusi.
- Program CSR dan Sosialisasi Langsung: Melaksanakan program tanggung jawab sosial dan melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat untuk meningkatkan pemahaman tentang asuransi syariah.
Saat ini, terdapat 16 perusahaan asuransi dan reasuransi syariah yang beroperasi di Indonesia, yang terdiri dari 10 perusahaan asuransi jiwa syariah, 5 asuransi umum syariah, dan 1 perusahaan reasuransi syariah. Selain itu, terdapat 38 unit usaha syariah (UUS) yang melayani 18 UUS asuransi jiwa, 17 UUS asuransi umum, dan 3 UUS reasuransi. Keberadaan pelaku industri yang cukup banyak ini seharusnya dapat mendorong pertumbuhan literasi asuransi syariah di Indonesia.
Dalam rangka memajukan literasi dan inklusi asuransi syariah, Erwin menjelaskan perlunya alokasi dana yang signifikan. “Berdasarkan survei yang kami lakukan, masing-masing perusahaan full fledged rata-rata mengeluarkan anggaran untuk biaya literasi dan inklusi serta perlindungan konsumen antara Rp100 juta sampai Rp500 juta dalam setahun,” ungkapnya.
Keberadaan dana yang besar ini menunjukkan keseriusan industri untuk meningkatkan literasi di kalangan masyarakat. Namun, tantangan pendidikan dan pemahaman tentang asuransi syariah masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera ditangani. Seiring dengan meningkatnya ketidakpastian ekonomi dan kebutuhan perlindungan keuangan yang semakin penting, meningkatkan literasi asuransi syariah seharusnya menjadi prioritas utama bagi semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan pelaku industri asuransi syariah itu sendiri.