Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, baru-baru ini menerbitkan sebuah memorandum yang mengusulkan pengenaan tarif impor terhadap negara-negara yang mulai memberlakukan pajak pada perusahaan teknologi besar seperti Google dan Netflix. Langkah ini diambil seiring dengan maraknya penerapan pajak layanan digital (DST) di berbagai negara yang dianggap tidak adil bagi perusahaan-perusahaan AS.
Dalam memorandum tersebut, Trump menyampaikan bahwa pajak layanan digital sering kali ditujukan untuk mengalihkan keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan teknologi di suatu negara dan diklaim oleh negara lain. Dia menegaskan bahwa AS tidak akan membiarkan kebijakan sepihak yang merugikan perusahaan dan pekerja Amerika serta kepentingan ekonomi dan keamanan nasionalnya. Tindakan ini mencerminkan sikap keras Trump terhadap kebijakan pajak yang dianggap merugikan posisi Amerika di pasar global.
Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) diinstruksikan untuk mengusulkan tindakan pembalasan yang dapat termasuk tarif terhadap negara-negara yang mengenakan pajak digital pada perusahaan-perusahaan seperti Alphabet Inc. dan Meta Platforms Inc. Upaya ini sejalan dengan kebijakan Gedung Putih untuk mencegah pemerintah asing mengumpulkan pendapatan pajak dari perusahaan teknologi AS yang beroperasi di luar negeri.
“Bisnis Amerika tidak akan lagi menopang ekonomi asing yang gagal melalui denda dan pajak pemerasan,” ungkap Trump dalam keterangan pers, seperti yang dilansir oleh Register, Senin (24/2/2025). Pernyataan ini menunjukkan tekad Trump untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional serta mendorong pertumbuhan bisnis dalam negeri.
Penentangan Trump terhadap pajak digital bukanlah hal baru. Pemerintahan sebelumnya, yang dipimpin oleh Presiden Biden, juga menganggap bahwa pajak ini tidak proporsional dan pernah mengancam akan mengenakan tarif sebesar 25%. Dalam respons terhadap ancaman tersebut, beberapa negara seperti Inggris, Eropa, dan India akhirnya mencabut kebijakan pajak tersebut. Hal ini menunjukkan dinamika yang kompleks dalam hubungan perdagangan dan pajak internasional, terlebih terkait dengan perusahaan-perusahaan raksasa teknologi.
Pihak pemerintah berbagai negara berargumen bahwa pengenaan pajak atas perusahaan-perusahaan teknologi seperti Netflix adalah wajar, mengingat mereka menawarkan layanan dan menjual produk kepada pelanggan yang berada dalam jurisdiksi lokal. Praktik yang umum dilakukan oleh Netflix, di mana pelanggan membayar langganan melalui entitas yang terdaftar di Belanda, dianggap sebagai salah satu contoh penyimpangan pajak yang merugikan negara-negara di mana mereka beroperasi.
Alasan di balik penerapan DST juga berkaitan dengan skema pajak yang dianggap legal tetapi sinis. Pemerintah negara-negara lain berpendapat bahwa praktik tersebut memungkinkan perusahaan teknologi membayar jauh lebih sedikit pajak dibandingkan dengan perusahaan lokal yang beroperasi dalam lingkup hukum yang sama.
Bloomberg melaporkan bahwa pemerintahan Trump juga akan melakukan peninjauan terhadap kebijakan yang berlaku di Uni Eropa dan Inggris, khususnya yang memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan AS untuk mengembangkan produk yang dinilai dapat melemahkan kebebasan berekspresi. Baik Trump maupun Wakil Presiden JD Vance secara terbuka mengkritik sekutu-sekutu Eropa atas peraturan yang mereka anggap menekan suara-suara konservatif, menandakan ketegangan dalam hubungan transatlantik.
Memorandum tersebut tidak mencantumkan batas waktu tertentu untuk pemberlakuan tarif terhadap negara-negara yang telah menerapkan pajak layanan digital. Ini mencerminkan perhatian berkelanjutan Trump terhadap masalah yang telah menjadi kekhawatiran sejak awal masa jabatannya di Gedung Putih. Seiring berjalannya waktu, dapat dilihat bagaimana kebijakan ini akan berdampak pada hubungan perdagangan internasional serta strategi perpajakan perusahaan teknologi besar di seluruh dunia.