Taiwan Tuntut Ganti Rugi, Tuduh China Sabotase Kabel Bawah Laut

Taiwan baru-baru ini mengajukan tuntutan hukum terhadap kapten kapal China, setelah menuduhnya melakukan sabotase terhadap kabel bawah laut di lepas pantai Taiwan. Insiden ini terjadi pada Februari 2025, dan menjadi perhatian utama di tengah meningkatnya ketegangan antara Taiwan dan China. Jaksa Taiwan menuntut kapten kapal berbendera Togo, Hong Tai 58, yang diawaki oleh kru asal China, berdasarkan pelanggaran Undang-Undang Pengelolaan Telekomunikasi. Ini merupakan langkah hukum yang belum pernah terjadi sebelumnya di Taiwan.

Pada 11 April, Kantor Kejaksaan Distrik Tainan mengumumkan bahwa tindakan ini dilakukan setelah Chunghwa Telecom Co. melaporkan bahwa kabel serat optik Taiwan-Penghu No. 3 terputus. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa kapal Hong Tai terlihat di area tersebut sejak 22 Februari, dan pada 25 Februari, otoritas Taiwan menahan tujuh awak kapal setelah mendapati bahwa jangkar kapal telah dijatuhkan di dekat kabel tersebut. Kapten kapal ditahan secara terpisah dan terus membantah tuduhan bahwa dia telah melakukan kesalahan.

Sebelumnya, pada bulan yang sama, China meluncurkan alat pemotong kabel laut dalam yang mampu merusak kabel hingga kedalaman 4.000 meter. Perangkat ini dirancang dengan teknologi canggih yang dapat beroperasi di kedalaman laut, dan kemampuannya ini semakin memicu kekhawatiran di kalangan negara-negara tetangga. Dugaan bahwa China terlibat dalam sabotase ini menggambarkan ancaman terhadap infrastruktur komunikasi internasional.

Serangkaian insiden kerusakan kabel di perairan Taiwan telah membuat pejabat setempat khawatir. Dalam satu dekade terakhir, China telah mengembangkan kemampuan bawah laut yang signifikan, yang memicu berbagai kecemasan di antara negara-negara seperti Taiwan, yang merasa terancam. Ini merupakan pertama kalinya sebuah negara secara terbuka mengklaim bahwa mereka memiliki alat yang dirancang untuk mengganggu infrastruktur vital tersebut.

Tuntutan terhadap kapten kapal tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga memiliki implikasi politik yang jauh lebih besar. Keputusan Taiwan untuk menyusun tuntutan ini adalah upaya untuk menekankan kedaulatan hukum dan politik mereka, serta untuk melindungi infrastruktur komunikasi yang dianggap krusial. Kabel-kabel bawah laut ini adalah “urat nadi tak terlihat” dari internet global dan sistem keuangan, sehingga melindunginya menjadi isu keamanan nasional.

Sebagai respons terhadap insiden ini, Taiwan telah meminta dukungan dari mitra Eropa untuk menghindari pemadaman komunikasi di masa depan. Langkah ini juga dikategorikan sebagai bagian dari usaha untuk memperkuat dukungan internasional terhadap Taiwan dalam menghadapi berbagai ancaman dari China. Penuntutan ini menunjukkan bahwa Taiwan berusaha untuk mengubah tindakan sabotase dari stealth menjadi tindak pelanggaran yang dapat dihukum.

Di sisi lain, China sering menggunakan operasi wilayah abu-abu untuk menguji batas-batas internasional tanpa menghadapi konsekuensi serius. Tindakan Taiwan ini memberikan preseden hukum baru dalam menghadapi upaya-upaya semacam itu, sekaligus menunjukkan tekadnya untuk mempertahankan kedaulatan dan integritasnya sebagai negara merdeka.

Dalam kancah geopolitik yang semakin kompleks, Taiwan berusaha untuk menjaga kelangsungan hidupnya di tengah ancaman yang mengintimidasi. Dengan mengkriminalkan sabotase terhadap infrastruktur komunikasi, Taiwan tidak hanya melindungi kepentingan nasionalnya, tetapi juga menetapkan pendekatan baru dalam menghadapi tantangan global. Ini menunjukkan bahwa menjaga kabel bawah laut lebih dari sekadar menjaga komunikasi—ini adalah usaha untuk mempertahankan kedaulatan dalam dunia yang penuh persaingan dan konflik.

Perlindungan terhadap kabel bawah laut menjadi semakin penting, dengan banyaknya bukti bahwa sabotase semacam ini dapat mempunyai dampak besar terhadap stabilitas komunikasi di tingkat global. Di tengah ketegangan yang meningkat, keamanan infrastruktur komunikasi menjadi sebuah pertaruhan besar yang tidak hanya mempengaruhi Taiwan, tetapi juga negara-negara lain yang bergantung pada jaringan komunikasi internasional.

Exit mobile version