RUU TNI dan Bayang-Bayang Orba: DPR Tegaskan Tidak Bisa Kembali

Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto mengemukakan pendapatnya mengenai kekhawatiran terkait potensi kembalinya Dwifungsi ABRI melalui revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa saat ini tidak ada yang bisa mengembalikan situasi ke era Orde Baru (Orba). Hal ini diungkapkan Utut saat rapat pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, pada Sabtu (15/3/2025).

Utut, yang telah berusia 60 tahun, berpendapat bahwa masyarakat telah mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan masa Orba. Ia menyebutkan salah satu contoh perubahan itu adalah kebebasan wartawan. “Sekarang wartawan dari latar belakang mana saja bisa wawancara narasumber. Pada zaman Orba, hal ini tidak mungkin dilakukan,” ujarnya. Perubahan sosial dan politik yang terjadi saat ini mencerminkan semangat zaman yang berbeda dan menunjukkan bahwa masyarakat semakin kritis dan berdaya.

Dalam pembahasan RUU TNI, Utut menegaskan bahwa undang-undang baru ini tidak akan memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil secara sembarangan. Ia menegaskan bahwa posisi-posisi di kementerian dan lembaga negara tidak akan diisi sepenuhnya oleh prajurit TNI. “Apakah nanti semua kementerian diisi tentara, ya enggak. Apakah semua diri yang diisi tentara, ya enggak,” tegas Utut. Menurutnya, penempatan prajurit dalam jabatan sipil akan bergantung pada kebutuhan kementerian dan otoritas presiden yang memiliki kekuasaan tertinggi berdasarkan Pasal 10 UUD.

Pernyataan utuh Utut ini mencerminkan komitmen untuk memastikan bahwa RUU TNI tetap berfokus pada peran pertahanan yang khas, tanpa mengembalikan kekuasaan yang berlebihan kepada militer dalam ranah sipil. Dalam konteks ini, rasa khawatir terhadap kembalinya dominasi militer seperti pada masa Orba dianggap tidak relevan dengan kenyataan sosial dan politik saat ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, isu mengenai keterlibatan militer dalam pemerintahan terus menjadi perdebatan hangat di Indonesia. Beragam perspektif muncul, mulai dari mereka yang khawatir akan pengulangan sejarah gelap hingga yang mendukung peran militer dalam menjaga stabilitas negara. Namun, Utut overture yang jelas bahwa kembali ke masa Orba bukanlah pilihan yang realistis. “Di dunia ini tidak ada yang bisa membalikan jarum jam,” ungkapnya, menekankan bahwa perubahan sudah terjadi dan tidak mungkin diputar mundur.

Revisi RUU TNI ini juga memiliki implikasi signifikan terhadap dinamika politik dan militer di Indonesia. Salah satu fokus utama dari revisi ini adalah untuk memperkuat profesionalisme dan netralitas TNI dalam konteks perpolitikan. Dalam pandangannya, penting untuk menegaskan bahwa tentara harus menjalankan fungsinya sebagai aparat pertahanan, bukan sebagai aktor politik yang berfungsi ganda.

Utut juga menyinggung mengenai pentingnya pengawasan terhadap pelaksanaan RUU TNI ini. Ia menegaskan perlunya transparansi dalam proses penunjukan prajurit TNI yang mungkin mendapatkan jabatan sipil hanya dalam konteks-konteks tertentu, seperti mendukung kegiatan kementerian. Hal ini merupakan langkah strategis untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Sebagai tambahan, Utut menyarankan agar masyarakat terus mengawasi implementasi dari RUU ini, memastikan bahwa komitmen untuk menjaga demokrasi dan kebebasan sipil tetap menjadi prioritas. Dalam konteks ini, kontribusi masyarakat sipil dan media massa menjadi penting untuk meneruskan pengawasan terhadap peran militer dalam pemerintahan. Keterlibatan publik dapat menjadi pendorong bagi TNI untuk tetap berkomitmen pada tugas pertahanannya, tanpa terjebak dalam pusaran politik.

Dengan latar belakang itu, pembahasan RUU TNI diharapkan dapat berjalan dengan baik, mengedepankan profesionalisme dan membawa keberlanjutan dalam sistem pertahanan yang lebih demokratis dan bertanggung jawab. Diharapkan, keputusan-keputusan yang diambil dalam proses legislatif ini akan mencerminkan aspirasi masyarakat akan keamanan, stabilitas, dan masa depan yang lebih baik.

Exit mobile version