
Sekutu Amerika Serikat (AS) di Asia kini merasakan keraguan terhadap ketegasan Washington dalam melindungi Taiwan, di tengah meningkatnya ketegangan dengan China. Kekhawatiran ini menyusul respons AS yang dianggap lemah terhadap situasi di Ukraina, yang ditangkap oleh para mitranya di kawasan sebagai indikasi bahwa mereka mungkin tidak akan mendukung Taiwan jika China memilih untuk mengambil alih pulau tersebut dengan kekerasan atau paksaan.
Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, baru-baru ini mencatat bahwa pemerintah AS saat ini lebih memprioritaskan upaya untuk “mencegah perang dengan China” di wilayah Indo-Pasifik sebagai respons terhadap dugaan ancaman terhadap kepentingan nasional inti mereka. Hal ini berlawanan dengan harapan sekutu-sekutu mereka yang menginginkan jaminan lebih kuat dan konkrit dari Washington dalam hal mempertahankan Taiwan, yang secara historis berstatus sebagai tempat yang berpisah dari China.
Ketegangan di sekitar Taiwan telah meningkat secara signifikan, terutama setelah kunjungan Ketua DPR AS saat itu, Nancy Pelosi, pada Agustus 2022. Kunjungan tersebut membuat Beijing marah, dengan menuduh AS mendukung separatisme Taiwan. Sebagai tanggapan, China mengadakan latihan militer skala besar di perairan di sekitar pulau tersebut. Latihan-latihan ini tidak hanya menegaskan posisi agresif Beijing, tetapi juga menambah rasa cemas di kalangan sekutu AS, mengingat bahwa situasi ini menciptakan potensi risiko bagi stabilitas dan keamanan regional.
Hubungan resmi antara pemerintah pusat China dan Taiwan terputus setelah perang saudara pada tahun 1949, ketika pasukan Kuomintang, yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek, melarikan diri ke Taiwan. Sejak saat itu, pulau itu telah beroperasi dengan mandiri, meskipun tidak diakui oleh banyak negara sebagai negara merdeka. Di sisi lain, kontak bisnis dan informal antara Taiwan dan China daratan mulai terjalin kembali pada akhir 1980-an, meskipun ketegangan politik terus meningkat.
Penting untuk dicatat bahwa pandangan sekutu-sekutu AS di Asia mengenai tuduhan ketidakmampuan Washington untuk melindungi Taiwan dipengaruhi oleh langkah-langkah diplomatik dan militer yang diambil oleh China. China, yang terus memperluas pengaruh dan kekuatannya, tidak ragu untuk mengekspresikan ambisi mereka dalam menegaskan kembali kontrol atas Taiwan, yang mereka anggap sebagai bagian dari wilayah mereka. Ini menjadi sumber kegelisahan bagi negara-negara dalam kawasan yang khawatir atas konsekuensi dari pengambilan keputusan AS di masa depan.
Melihat secara lebih luas, banyak analis mulai mempertanyakan kemampuan dan komitmen AS untuk menjalankan perannya sebagai pelindung bagi negara-negara sekutu. Sikap Washington yang tampaknya lebih defensif dapat menyebabkan sejumlah sekutu merasa bahwa mereka harus mengadopsi strategi pertahanan independen, mengingat ketidakpastian akan dukungan AS di masa mendatang.
Berbagai faktor, termasuk dinamika politik domestik di AS, pergeseran fokus terkait kebijakan luar negeri, dan peningkatan aktivitas militer China, membuat situasi di Taiwan kian kompleks. Sekutu-sekutu AS, di Asia dan di seluruh dunia, sekarang berada dalam posisi yang sulit ketika harus menentukan langkah selanjutnya dalam menghadapi potensi ancaman terhadap keamanan nasional mereka sendiri.
Dalam konteks ini, pertanyaan yang muncul adalah seberapa jauh AS akan melangkah dalam mempertahankan Taiwan? Apakah Washington akan mengambil tindakan tegas jika agresi terjadi, ataukah ketotolan komitmen mereka terhadap sekutu-sekutu ini akan tetap membayangi? Pertanyaan-pertanyaan ini tetap menggantung di benak para pemimpin di kawasan, menunggu keputusan dari Washington yang memahami kompleksitas dan implikasi dari hubungan mereka dengan Taiwan dan China.