Presiden Serbia, Aleksandar Vucic, meminta maaf kepada publik setelah secara tidak sengaja memberikan suara untuk mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang menyalahkan Rusia atas invasi ke Ukraina. Dalam wawancara dengan stasiun televisi nasional Serbia, RTS, Vucic menjelaskan bahwa keputusan tersebut adalah kesalahan dan seharusnya Serbia memilih untuk abstain dalam pemungutan suara yang berlangsung pada hari Senin lalu. Vucic berkata, “Saya yakin Serbia telah melakukan kesalahan hari ini. Saya minta maaf kepada warga Serbia atas kesalahan itu, dan saya bertanggung jawab karena saya mungkin lelah dan kewalahan.”
Sebanyak 93 negara mendukung resolusi yang mendesak Rusia untuk segera menarik pasukan militernya dari Ukraina. Sebaliknya, Amerika Serikat dan Rusia termasuk dalam kelompok negara yang menolak resolusi tersebut, sementara 65 negara lainnya memilih untuk abstain. Dukungan Serbia terhadap resolusi ini menimbulkan pertanyaan mengenai orientasi kebijakan luar negeri negara Balkan tersebut, terutama mengingat hubungan kuat yang dimilikinya dengan Rusia, terutama dalam sektor energi, di mana Serbia tergantung pada pasokan gas dari Moskow.
Vucic menegaskan bahwa Serbia tidak ingin terlihat berpihak kepada negara adidaya manapun. Dalam konteks ini, penting untuk mencatat bahwa Serbia sebelumnya memilih untuk abstain dalam resolusi Dewan Keamanan PBB yang didukung oleh AS, yang menyerukan diakhirinya perang tanpa menyebut Rusia sebagai agresor. Keputusan untuk mendukung resolusi PBB kali ini berpotensi merugikan posisi diplomatik Serbia di arena internasional, terutama di Uni Eropa, di mana Serbia telah berusaha untuk bergabung sejak 2009.
Permintaan maaf Vucic menerima respon terbuka dari Kremlin. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan bahwa Moskow memahami kesalahan tersebut dan menghargai permintaan maaf yang disampaikan pemerintah Serbia. Peskov mengatakan, “Tentu saja, kami mendengarnya. Tentu saja, kami menerimanya. Kesalahan teknis memang bisa terjadi, dan reaksi cepat dari kepala negara sangat kami harapkan.”
Situasi ini menciptakan tantangan besar bagi Serbia, yang harus menemukan keseimbangan antara hubungan yang telah lama terjalin dengan Rusia dan ambisi untuk bergabung dengan Uni Eropa. Dengan adanya insiden ini, Serbia semakin terjebak dalam dilema diplomatik, di mana langkah-langkah selanjutnya dari pemerintah Vucic akan menjadi sorotan dari komunitas internasional.
Selain itu, keputusan Majelis Umum PBB ini juga mengguncang dinamika geopolitik terkait invasi Rusia terhadap Ukraina. Sebelumnya, pada pemungutan suara tersebut, AS bergabung dengan 18 negara lain, termasuk Rusia, untuk menolak resolusi yang mendukung Ukraina. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, juga menekankan bahwa administrasi saat ini berkomitmen untuk mencari solusi yang berkelanjutan untuk perdamaian, bukan sekadar gencatan senjata sementara.
Insiden yang melibatkan Vucic ini menunjukkan kompleksitas dari situasi geopolitik saat ini, di mana negara-negara harus berurusan dengan pengaruh dan tekanan dari kekuatan besar seperti Rusia dan AS. Sebagai akibatnya, Serbia perlu secara hati-hati mempertimbangkan setiap langkah dalam kebijakan luar negerinya untuk menjaga hubungan baik dengan mitra penting sambil tetap berpegang pada aspirasi integrasi Eropa. Reaksi dan tindakan selanjutnya dari Vucic dan pemerintah Serbia akan menjadi fokus bagi para pengamat internasional, yang dengan cermat mengawasi bagaimana negara itu mengelola tantangan ganda ini.