PHRI Solo Waspadai PHK Massal Akibat Efisiensi Anggaran Okupansi

Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintah sedang memberikan dampak signifikan terhadap industri perhotelan dan restoran di Kota Solo. Dengan lebih dari 40% acara MICE (meetings, incentives, conferences, and exhibitions) di hotel-hotel Solo mengalami pembatalan, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri.

Juru Bicara Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Solo, Wening Damayanti, menjelaskan bahwa keputusan pemerintah untuk memotong anggaran belanja negara berdampak langsung pada penurunan okupansi hotel. “Setelah keputusan presiden pada waktu itu turun, di hari yang sama pun sudah ada penurunan okupansi dan pendapatan sampai 50%. Cancel business itu banyak sekali di hari pertama sejak dikeluarkannya keputusan itu,” ungkap Wening.

Dampak kebijakan ini tidak hanya terlihat di Solo, tetapi merambat ke seluruh provinsi Jawa Tengah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Solo 2024, terdapat 164 hotel dengan sekitar 7.700 kamar di Solo, termasuk tiga hotel bintang lima, sebelas hotel bintang empat, dan dua puluh dua hotel bintang dua. Sebagian besar hotel yang terpengaruh adalah hotel bintang empat dan lima, yang sehari-harinya mungkin mengalami kerugian hingga ratusan juta akibat pembatalan acara.

Saat ini, banyak hotel masih mengalami cancel business yang berkelanjutan, sehingga para pelaku industri perhotelan terpaksa memikirkan strategi efisiensi internal. Wening menekankan, “Apabila tidak ada perubahan kebijakan, pelaku usaha perhotelan terpaksa melakukan efisiensi yang bisa berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.”

PHRI Solo berharap pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan ini untuk menghindari dampak lebih serius. Wening menambahkan bahwa jika kebijakan efisiensi ini terus berlanjut, hal tersebut tidak hanya akan mempengaruhi karyawan hotel, tetapi juga vendor dan UMKM yang bergantung pada kegiatan hotel, seperti pemasok bahan makanan, buah-buahan, dan produk F&B.

Dari hasil survei BPS, telah terdata bahwa hotel-hotel di Solo berkontribusi besar terhadap ekonomi lokal, khususnya dalam sektor pariwisata. Namun, dengan adanya penurunan yang tajam dalam penghuni hotel dan acara MICE yang menjadi sumber pendapatan vital, industri ini menghadapi tantangan serius. Tidak hanya okupansi hotel yang terpengaruh, tetapi kondisi ini juga berimbas pada daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah.

Mengingat situasi ini, pelaku industri perhotelan di Solo sangat mengharapkan pemerintah mempertimbangkan kembali langkah-langkah efisiensi anggaran yang diambil, agar tidak semakin memperburuk situasi di lapangan. Wening menekankan pentingnya dialog antara pemerintah dan industri untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan, guna menjaga keberlangsungan usaha di sektor perhotelan dan menjaga lapangan kerja bagi banyak karyawan.

Secara keseluruhan, dampak dari kebijakan pemotongan anggaran telah memberikan sinyal kritis bagi industri perhotelan. Tanpa adanya perubahan signifikan, sektor yang selama ini menjadi andalan bagi pertumbuhan ekonomi di daerah, berpotensi mengalami penurunan lebih lanjut baik dalam hal okupansi maupun produktivitas. Dengan situasi seperti ini, perhatian pemerintah dan kolaborasi antara sektor publik dan swasta menjadi kunci untuk memperbaiki keadaan dan menegaskan kembali posisi industri pariwisata di Solo.

Exit mobile version