Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto baru-baru ini meralat keputusan mutasi sejumlah perwira tinggi TNI, yang diumumkan satu hari sebelumnya. Di antara yang terkena mutasi adalah Letjen TNI Kunto Arief Wibowo, putra dari Wakil Presiden RI ke-6, Try Sutrisno. Kunto yang baru menjabat sebagai Pangkogabwilhan 1 selama lebih dari dua bulan, kini tetap di posisinya setelah pembatalan mutasi tersebut.
Keputusan yang mendadak ini menimbulkan kontroversi dan spekulasi. Penunjukan Laksamana Muda TNI Hersan sebagai penggantinya dianggap mengarah pada isu politis. Beberapa pihak mengaitkan keputusan tersebut dengan manuver politik Kunto Arief yang diduga berhubungan dengan pencopotan Gibran Rakabuming dari kursi Wakil Presiden.
Dwi Sasongko, Co-founder Inti Studi Diplomasi dan Strategi (ISDS), berpendapat bahwa pembatalan mutasi ini menunjukkan ketidaksiapan dalam pengambilan keputusan di tingkat tertinggi TNI. Ia menekankan, mutasi seharusnya melalui proses matang yang mempertimbangkan kinerja dan kebutuhan organisasi secara menyeluruh. Dwi juga menyatakan, “Ketika keputusan penting seperti ini diralat dalam waktu singkat, kesan yang muncul adalah kebijakan tersebut diambil tergesa-gesa, tidak transparan, atau bahkan ada pengaruh dari luar institusi.”
Menurut Dwi, langkah ini bisa merusak kredibilitas dan profesionalisme TNI, yang selama ini dikenal sebagai institusi yang menjunjung tinggi disiplin dan stabilitas internal. “Ketidakpastian dalam penempatan jabatan dapat menurunkan motivasi prajurit dan menciptakan spekulasi liar,” tambahnya.
Letjen Kunto yang seharusnya dimutasi ke Markas Besar TNI Angkatan Darat sebagai Staf Khusus Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, kini bertahan dalam posisi yang sama dan mendapat banyak perhatian dari publik. Brigjen Kristomei Sianturi, Kepala Pusat Penerangan TNI, menjelaskan bahwa keputusan mutasi melibatkan pertimbangan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tertinggi (Wanjakti) dan diklaim tidak berkaitan dengan politik.
“Mutasi dilakukan demi kepentingan organisasi,” ungkapnya, sembari menekankan bahwa keputusan tersebut sudah dipertimbangkan secara matang. Dengan adanya pembatalan ini, kompetensi pimpinan TNI di bawah Jenderal Agus kembali dipertanyakan.
Situasi ini mengingatkan masyarakat pada kebutuhan akan transparansi dalam pengambilan keputusan militer, terutama bagi posisi strategis seperti Pangkogabwilhan. Pembatalan mendadak ini tidak hanya menyentuh aspek internal, tetapi juga menciptakan dampak signifikan terhadap citra TNI di masyarakat.
Proses pemilihan dan mutasi perwira tinggi TNI seharusnya mencerminkan disiplin, ketegasan, dan profesionalisme. Namun, dengan munculnya spekulasi mengenai pengaruh luar, hal ini menunjukkan adanya potensi masalah sistemik dalam tata kelola organisasi. Dwi Sasongko menambahkan bahwa dalam konteks reformasi militer, keputusan ini bisa dianggap sebagai kemunduran yang patut dicatat dan diperhatikan secara serius.
Ketidakpastian yang dibawa oleh pembatalan mutasi ini menciptakan ketegangan di lingkup internal TNI. Ketika seorang perwira harus menghadapi perubahan yang mendadak di posisi dan kejelasan karirnya, ini bisa memengaruhi integritas dan stabilitas mental prajurit lainnya.
Kesinambungan proses dan tata kelola yang baik di tubuh TNI diperlukan untuk menjaga profesionalisme dan moral para prajurit. Dalam dunia militer, keputusan yang jelas dan transparan adalah kunci untuk menciptakan stabilitas dan disiplin. Dengan memantau perkembangan selanjutnya, publik berharap agar TNI dapat kembali ke jalur yang benar dan mengutamakan kepentingan organisasi serta kepercayaan masyarakat.