Angka pernikahan di China mengalami penurunan drastis yang mengkhawatirkan, mencapai titik terendah dalam sejarah pada tahun 2024. Data dari Kementerian Urusan Sipil China menunjukkan bahwa pada tahun 2023, hanya sekitar 6,5 juta pernikahan yang terdaftar. Ini merupakan penurunan signifikan dibandingkan dengan lebih dari 13 juta pernikahan yang tercatat pada awal tahun 2000-an. Penurunan ini bukan hanya sekadar angka, tetapi juga menggambarkan perubahan budaya dan sosial yang mendalam di kalangan generasi muda China.
Tren ini berdampak serius pada demografi dan ekonomi negara tersebut. Dengan semakin sedikit pasangan yang menikah, diperkirakan angka kelahiran akan semakin menurun. Ini memperkuat kekhawatiran bahwa China telah mengalami penurunan populasi untuk tahun kedua berturut-turut, di mana jumlah kematian mengalahkan jumlah kelahiran. Hal ini menimbulkan tantangan bagi pemerintah dalam merencanakan kebijakan jangka panjang untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong keengganan pasangan muda untuk menikah. Pertama, prioritas terhadap pendidikan dan karier semakin menguat di kalangan generasi muda. Banyak dari mereka yang memilih untuk fokus pada perkembangan pribadi dan kemandirian finansial, alih-alih mengikuti norma tradisional yang mengharuskan menikah pada usia muda. Selain itu, anggapan bahwa pernikahan tidak lagi menjadi syarat mutlak untuk kehidupan yang bahagia juga semakin umum. Hidup bersama tanpa pernikahan resmi, misalnya, menjadi lebih diterima secara sosial.
Kenaikan biaya hidup juga mempengaruhi keputusan untuk menikah. Di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Shenzhen, harga perumahan yang melonjak membuat pasangan muda berpikir ulang tentang komitmen pernikahan. Biaya tambahan untuk pernikahan, mulai dari mahar hingga resepsi, semakin menambah beban finansial, sehingga banyak yang merasa tidak siap untuk menghadapi tanggung jawab itu.
Ketidakseimbangan gender sebagai akibat dari kebijakan satu anak yang berlaku dari 1979 hingga 2015 juga berkontribusi terhadap masalah ini. Saat ini, jumlah pria di China melebihi jumlah wanita, menciptakan tantangan signifikan, terutama di daerah pedesaan. Di tempat-tempat tersebut, kesempatan ekonomi terbatas membuat pria kesulitan untuk menarik pasangan, sementara perempuan mengharapkan status sosial ekonomi yang sama atau lebih tinggi dari calon suami mereka.
Budaya kerja yang kompetitif di China menambah beban ini. Jam kerja yang panjang dan stres yang tinggi mengurangi waktu dan kesempatan untuk menjalin hubungan romantis. Banyak individu muda lebih memilih untuk mengejar karier daripada memikirkan pernikahan, melihatnya sebagai potensi kendala dalam mencapai keberhasilan profesional.
Menanggapi situasi yang memburuk ini, pemerintah China telah meluncurkan berbagai langkah untuk mendorong pernikahan dan kelahiran anak. Beberapa upaya termasuk insentif finansial, kebijakan perumahan yang lebih longgar, serta tunjangan untuk pasangan yang menikah dan orang tua. Namun, meski upaya ini dilakukan, penurunan angka pernikahan masih berlanjut.
Para ahli telah memperingatkan bahwa tren ini dapat mengakibatkan dampak jangka panjang yang serius, berupa berkurangnya tenaga kerja dan berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Dengan lebih sedikit orang muda yang masuk ke pasar kerja, produktivitas dan inovasi bisa terhambat, yang pada gilirannya berdampak pada sistem jaminan sosial dan pensiun.
Masalah sosial lainnya juga muncul, seperti meningkatnya ketergantungan pada sistem kesejahteraan pemerintah, dengan kemungkinan meningkatnya masalah kesehatan mental dan ketidakstabilan sosial akibat semakin banyak pria yang tidak menikah. Beberapa menyebutkan bahwa ketidakpaduan gender ini dapat memperburuk situasi perdagangan manusia dan praktik pembelian pengantin.
Demi mengatasi tren penurunan ini, reformasi struktural yang lebih luas mungkin diperlukan, termasuk dukungan ekonomi yang lebih komprehensif dan langkah-langkah kesetaraan gender. Pemerintah perlu beradaptasi dengan perubahan dinamika sosial dan ekonomi yang berlangsung dengan cepat, agar tidak hanya berfokus pada angka, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan dan harapan generasi mendatang.