Cirebon, Octopus – Dalam langkah-langkah sunyi penuh makna, para Biksu Thudong mengukir sejarah baru melalui perjalanan spiritual melintasi Indonesia. Istilah “Thudong” berasal dari bahasa Pali di Thailand yang berarti perjalanan kaki, merupakan praktik suci dalam tradisi Theravada. Ajaran ini menekankan pada pengamalan ajaran Buddha yang murni, tanpa mencampurkan dengan kepercayaan lainnya.
Inisiatif mulia ini pertama kali dicetuskan pada Desember 2019 oleh Bhante Wawan, seorang biksu asal Cirebon, bersama Prabu Diaz, Panglima Tinggi Laskar Agung Macan Ali Nuswantara. Thudong bertujuan menapaki Indonesia, sebuah negeri yang sebelumnya belum pernah tercatat dalam sejarah perjalanan Thudong dunia, berbeda dengan negara-negara lain seperti India, Nepal, dan Sri Lanka.
Namun, perjalanan ini sempat tertunda akibat pandemi Covid-19. Setelah berbagai persiapan, pada 23 Maret 2023, perjalanan suci ini resmi dimulai. Para Biksu Thudong melangkahkan kaki dari Nakhon Si Thammarat, Thailand Selatan, melewati Malaysia dan Singapura, hingga akhirnya tiba di pelataran agung Candi Borobudur pada 30 Mei 2023.
Menariknya, Prabu Diaz, seorang Muslim, tidak hanya berperan sebagai pengawal, tetapi juga sebagai pelindung dan sahabat bagi para biksu dalam perjalanan spiritual tersebut. Dia meluangkan waktu untuk memahami adab dan kehidupan para biksu dengan menempuh studi selama 28 hari di Thailand sebelum memulai perjalanan. Ini adalah simbol nyata dari persaudaraan lintas agama di era modern.
Perjalanan ini tidak hanya mencerminkan ketekunan dan dedikasi para biksu, tetapi juga menunjukkan pentingnya toleransi dan persahabatan antaretnis dan antaragama. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keberagaman, perjalanan Thudong menjadi pelajaran bagi banyak orang tentang arti persaudaraan sejati.
Salah satu tahapan perjalanan yang penuh makna adalah kedatangan para biksu di berbagai lokasi sepanjang rute mereka. Di setiap tempat, mereka disambut dengan antusiasme oleh masyarakat dan relawan lintas iman. Warga lokal membuat acara sambutan dengan berbagai kegiatan, seperti doa bersama dan pertunjukan seni budaya daerah. Kegiatan tersebut menunjukkan bahwa meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, semua orang dapat bersatu dalam semangat kebersamaan dan saling menghormati.
Tidak hanya itu, kunjungan para biksu juga difasilitasi dengan diskusi terbuka dengan tokoh masyarakat dan pemuka agama setempat. Melalui dialog-dialog ini, para peserta dapat saling berbagi pandangan dan pengalaman, menjadikan perjalanan ini sebagai ajang pertukaran budaya dan pengetahuan yang sangat berharga.
Sejak awal mula perjalanan, para biksu telah menjalani berbagai tantangan, mulai dari cuaca, medan yang berat, hingga perbedaan budaya. Namun, semua rintangan tersebut tak mengurangi semangat dan tujuan mulia mereka. Mereka terus melangkah maju, dipandu oleh keyakinan dan tekad untuk menyebarluaskan ajaran Buddha serta memperkuat ikatan antarumat beragama di Indonesia.
Terdapat keindahan tersendiri saat para biksu Thudong tiba di Candi Borobudur, situs warisan dunia yang juga menjadi simbol perdamaian dan spiritualitas. Di sana, mereka melakukan ritual sesuai dengan tradisi mereka, merayakan pencapaian perjalanan spiritual yang telah mereka lakukan. Candi Borobudur, dengan arsitekturnya yang megah, menjadi latar belakang yang sempurna untuk mengeksplorasi tema kedamaian dan toleransi.
Melihat perjalanan ini, kita diingatkan bahwa persaudaraan antarumat beragama bukanlah sekadar etika, tetapi merupakan kebutuhan yang mendasar untuk hidup berdampingan di tengah keberagaman. Inisiatif seperti Thudong bisa menjadi jembatan untuk membangun kesadaran kolektif mengenai pentingnya menghargai satu sama lain, sehingga Indonesia dapat terus melangkah ke depan sebagai negera yang harmonis dan penuh cinta kasih.