
Seorang mantan pejabat NATO, Sir Richard Shirreff, baru-baru ini mengeluarkan peringatan serius mengenai potensi ancaman yang akan dihadapi negara-negara Eropa, termasuk Inggris, jika mereka gagal untuk memberikan dukungan militer yang cukup kepada Ukraina serta sekutu-sekutunya di kawasan Baltik. Dalam pandangannya, jika situasi di Ukraina tidak ditangani dengan serius, ambisi Rusia di Eropa dapat berlanjut, tak hanya di Ukraina tetapi juga di negara-negara lain.
Dalam wawancara dan penulisan esai yang dia buat, Shirreff menegaskan bahwa kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Donald Trump, yang berusaha untuk mengurangi keterlibatan Amerika dalam NATO, telah berpotensi merugikan aliansi pertahanan tersebut. Salah satu dampak yang terungkap adalah penurunan kontribusi finansial AS terhadap anggaran tahunan NATO, yang saat ini turun menjadi kurang dari 16 persen dari total £3,2 miliar. Hal ini menciptakan kekhawatiran, terutama jika AS mengambil langkah untuk keluar dari aliansi, sehingga banyak negara Eropa, termasuk Inggris, berisiko kehilangan dukungan militer penting.
Lebih jauh lagi, Sir Richard berpendapat bahwa jika Rusia berhasil mencapai kesepakatan damai yang menguntungkan di Ukraina, hal itu akan memberi Vladimir Putin kesempatan untuk memperkuat militernya dan melanjutkan ambisi ekspansionisnya. Dalam pandangan Shirreff, setelah Ukraina, negara-negara selanjutnya yang mungkin menjadi target Rusia adalah Georgia, Moldova, dan Rumania. Dengan skenario tersebut, ancaman perang langsung di Eropa, termasuk serangan terhadap Inggris, bisa menjadi kenyataan.
Dia menggambarkan bahwa jika Rusia melanjutkan agresinya ke Eropa, pola serangan yang digunakan kemungkinan akan mirip dengan yang terjadi di Ukraina, di mana serangan udara dan darat dilakukan secara brutal dan sistematis. Beberapa tindakan kekejaman yang sudah terjadi di Ukraina, termasuk deportasi anak-anak dan pengeksekusian warga sipil, diwarnai oleh simbol-simbol pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius dan bisa jadi terjadi kembali di negara-negara target selanjutnya.
Mantan Komandan Angkatan Darat AS di Eropa, Ben Hodges, juga menunjukkan bahwa Rusia berpotensi menargetkan infrastruktur transportasi vital, termasuk bandara dan pelabuhan, dalam skenario konflik dengan NATO. Hal ini kembali menunjukkan betapa pentingnya persiapan dan penguatan pertahanan bagi negara-negara Eropa untuk menghadapi ancaman tersebut.
Sir Richard menekankan bahwa untuk mencegah ekspansi militer Rusia, pengiriman senjata ke Ukraina harus dilanjutkan. Dia juga menyarankan agar negara-negara NATO mempertimbangkan untuk menerapkan sistem wajib militer atau konskripsi guna meningkatkan kesiapan pertahanan mereka. Sikap solidaritas Eropa dalam menghadapi ancaman bersama menjadi sorotan utama dalam komentarnya.
Dalam respons negara-negara Eropa terhadap ancaman ini, Polandia sedang merencanakan program pelatihan militer berskala besar untuk membangun angkatan bersenjata yang lebih kuat, dengan target pembentukan 500.000 tentara, termasuk pasukan cadangan. Sementara itu, mantan Menteri Pertahanan Inggris, Ben Wallace, berpendapat bahwa meskipun keluarnya AS dari NATO akan menjadi bencana, Eropa masih dapat membangun kemampuan pertahanan sendiri.
Saat situasi semakin mendesak, Inggris dan Prancis berupaya memimpin koalisi global untuk perdamaian dan berdialog dengan negara-negara lain dalam misi penjagaan perdamaian di Ukraina. Meskipun tantangan besar dihadapi, upaya diplomatik untuk menemukan solusi damai terus berlangsung, dengan pertemuan antara pihak AS dan Ukraina direncanakan di Arab Saudi.
Dengan semua perkembangan ini, pemimpin dunia diharapkan tetap waspada terhadap perubahan dinamika di Eropa. Ancaman Rusia tidak hanya terbatas pada satu negara, dan kerja sama internasional menjadi kunci untuk menghadapi tantangan yang ada.