Laporan Bank Dunia dan PBB: Gaza Butuh Rp867 Triliun untuk Rekonstruksi

Laporan terbaru yang dirilis oleh Bank Dunia, PBB, dan Uni Eropa mengungkapkan bahwa rekonstruksi Jalur Gaza setelah konflik berkepanjangan memerlukan dana yang sangat besar, yakni sekitar USD53,2 miliar (sekitar Rp867 triliun). Angka ini mencerminkan dampak ekonomi yang sangat serius akibat perang yang dilakukan oleh Israel, yang telah menyebabkan kerusakan luas di wilayah kantong Palestina tersebut.

Laporan berjudul “Penilaian Cepat dan Kebutuhan Sementara Gaza dan Tepi Barat (IRDNA)” menyampaikan bahwa kerusakan yang dialami Gaza tidak hanya terbatas pada infrastruktur fisik, tetapi juga berdampak luas pada semua sektor ekonomi. Diperkirakan, kerusakan bangunan fisik saja mencapai USD30 miliar, di mana sektor perumahan menjadi yang paling parah terkena dampak, menyumbang 53% dari total kerugian. Setelahnya, sektor perdagangan dan industri menyusul dengan kontribusi 20%.

Dampak ekonomi dari konflik ini jauh lebih dalam, dengan laporan menyatakan bahwa kerugian akibat berkurangnya produktivitas, hilangnya pendapatan, dan biaya operasional diperkirakan mencapai USD19 miliar. Sektor kesehatan, pendidikan, dan perdagangan mengalami dampak terbesar dari situasi yang terpuruk ini. Sebagian besar aktivitas ekonomi di Gaza terhenti, mengakibatkan lonjakan harga barang yang sangat signifikan: harga bahan pangan, khususnya, melonjak hingga 450% dalam satu tahun.

Prediksi untuk masa depan ekonomi Gaza menunjukkan hal yang lebih mengecewakan. Ekonomi wilayah ini diperkirakan akan menyusut hingga 83% pada 2024. Meskipun Gaza mencakup 40% populasi Palestina, kontribusinya terhadap ekonomi secara keseluruhan diperkirakan hanya sebesar 3%. Sementara itu, Tepi Barat juga menghadapi tantangan ekonomi yang berat, dengan proyeksi kontraksi sebesar 16% di tahun yang sama.

Perang yang berkepanjangan di Gaza kembali mendapat perhatian global, terutama setelah tercapainya gencatan senjata pada 19 Januari, yang menghentikan kekerasan yang telah mengklaim nyawa hampir 48.300 warga Palestina, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Perang ini telah meninggalkan Gaza dalam keadaan hancur dan memerlukan upaya pemulihan yang mendesak.

Di tengah konteks ini, pengadilan internasional juga ikut bersuara, di mana Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahannya, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga kini tengah berhadapan dengan tuntutan genosida di Mahkamah Internasional terkait konflik ini.

Dalam menghadapi situasi mendesak ini, beberapa negara, termasuk Mesir, telah menyusun rencana komprehensif untuk membangun kembali Gaza tanpa harus menggusur penduduk Palestina. Mesir juga akan menjadi tuan rumah pertemuan puncak darurat Arab pada 4 Maret untuk mendiskusikan rencana tersebut, sebagai tanggapan terhadap usulan kontroversial Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengusulkan untuk “mengambil alih” Gaza.

Gagasan Trump untuk memindahkan penduduk Palestina demi mengembangkan wilayah tersebut menjadi apa yang disebut “Riviera Timur Tengah” telah ditolak secara tegas oleh Palestina dan negara-negara Arab, yang menyatakan langkah tersebut sebagai bentuk pembersihan etnis. Pertemuan para pemimpin Arab di Riyadh pada 20 Februari diharapkan dapat menghasilkan respons kolektif terhadap situasi yang dihadapinya Gaza dan untuk mengkoordinasikan sikap mereka terhadap inisiatif tersebut.

Dengan kebutuhan mendesak akan dana yang sangat besar dan tantangan diplomatis yang kompleks, masa depan Gaza masih sangat tidak pasti. Namun, langkah-langkah untuk rekonstruksi dan pemulihan harus segera dirumuskan agar rakyat Gaza dapat kembali ke kehidupan yang lebih baik dan stabil.

Exit mobile version